Selasa, 02 Juni 2020

BENARKAH MEDANG I BHUMI MATARAM LENYAP KARENA LETUSAN MERAPI??


~Di gambarkan dalam kitab sastra Jawa baru babad tanah Jawi yang menyebut alasan Mpu Sindok meninggalkan Medang BHUMI Mataram ke Jawa Timur lantaran tanah Mataram terhantam letusan gunung Merapi. Letusan gunung berapi adalah gambaran telah terjadinya sebuah peperangan besar tidak lain adalah serbuan kerajaan Sriwijaya ke tanah Jawa menyerbu kerajaan Medang bhumi Mataram yang menewaskan Rakai pangkaja atau Rakai Dyah Wawa.

Ketika Rake Pangkaja Dyah Wawa bertahta di Medang i Bhumi Mataram, Gunung Merapi meletus hebat, sebagian puncaknya hancur, Tanahnya bergeser ke barat daya, membentuk gunung Gendol dan Pegunungan Manoreh,
Beberapa waktu lamanya Bhumi Mataram tergoncang gempa besar, terhujani abu vulkanik dan batu. Candi Borobudur dan Prambanan tenggelam. Keraton Medang Bhumi Mataram hancur. Demikian teori Van Bommelen.

Tetapi Sejarawan Belanda itu tidak mampu menerangkan nasib Rakai Pangkaja Dyah Wawa, Apakah mertua mahamentri Hino Mpu Sindok itu gugur dalam bencana besar atau gugur jauh sebelumnya.
Yang pasti pada tahun 929M Kerjaan Medang tampil di Jawa Timur yang di maharajai Rake Hino Mpu Sindok yang bergelar Abhiseka Sri Maharaja Isyana Wikramdharmottunggadewa.

Benarkah pada sekitar 928M bencana besar letusan gunung Merapi menenggelamkan keraton Medang Bhumi Mataram?, Sehingga Mpu Sindok terpaksa membangun pusat pemerintahan baru di Jawa Timur??

Rupanya Van Bommelen keliru menafsir berita dalam Babad Tanah Jawa yang menyebut alasan Mpu Sindok meninggalkan Medang BHUMI Mataram ke Jawa Timur lantaran tanah Mataram terhantam letusan gunung Merapi.
Sesungguhnya karya sastra Jawakuno banyak menggunakan pralambang dalam penulisannya. Seperti serat Pararaton yang banyak menulis peristiwa letusan gunung berapi untuk melambangkan peristiwa besar dalam negara, seperti kelahiran dan wafatnya seorang Raja, Serbuan musuh atau pemberontakan yang mengakibatkan goncangan besar dalam kerajaan.

Prapanca juga menulis dalam kakawin  Negarakertagama Pupuh 1 bait 4 yang berbunyi " Tahun Saka 1256 beliau lahir untuk jadi Narpati, Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar nyambar, Gunung meletus, gemuruh, gemuruh membunuh Surjana, penjahat musnah dari negara."

Peristiwa gempa bumi dan gunung meletus itu juga perlambang, Bahwa kelahiran Hayam Wuruk merupakan peristiwa besar bagi Majapahit.
Dengan demikian bahwa letusan gunung berapi pada masa akhir pemerintahan Rake Sumba Dyah Wawa di Medang Bhumi Mataram sebagaimana berita dalam babad tanah Jawa maupun serat dan babad lainnya, mengandung arti pada saat itu terjadi peristiwa besar, yaitu serbuan musuh yang berhasil menguasai keraton Medang Bhumi Mataram dan menewaskan Sang Maharaja Rake Sumba Dyah Wawa.

Siapa yang menghancurkan kejayaan Medang Bhumi Mataram pada sekitar 928M ?

Terkait dengan kepindahan medang bumi mataram ke jawa timur jaman mpu sindok. merujuk pada pendapat casparis yang berpendapat bahwa alasan mpu sindok memindahkan kerajaan medang mataram ke jatim karena serbuan sriwijaya. Dan juga dikuatkan oleh pendapat buchari bahwa suatu keraton atau istana yang pernah diduduki atau dikuasai musuh dianggap sudah ternoda dan harus dipindah ke tempat lain.  Dan mpu sindok ternyata tidak memindah keraton di area jawa tengah tetapi malah jauh ke jawa bagian timur.

Alasan mpu sindok memindah kerajan medang bumi mataram ke jawa timur karena serbuan sriwijaya, adalah alasan sejarah bedasarkan pada kronologis sejarah perang jaman dapunta hyang sriwijaya sampai jaman ketika sriwijaya menyerbu mpu sindok di anjuk ladang sampai ketika kehancuran  Dharmwangsa  teguh penerus Empu sindok. Di sini kita dapati gambaran jelas bahwa masa itu ada perebutan hegemoni kekuasaan nusantara yaitu antara penguasa di tanah jawa  dan penguasa di tanah sumatra (sriwijaya).

Merujuk pada prasasti anjuk ladang yang menerangkan tentang peresmian bangunan candi (Sri Jayamerta) yang berlokasi di sekitar tugu kemenangan (Jayastamba). Sedangkan nama Sima “Anjuk Ladang” memiliki makna tanah kemenangan.

Walaupun dalam prasasti Anjuk Ladang tidak disebutkan secara lugas tentang penyebab perpindahan pusat Kerajaan Medang, namun dari kata “Sri Jayamerta”, “Jayastamba” dan “Anjuk Ladang” sudah tersirat adanya peristiwa kemenangan perang yang sangat monumental yang pernah dialami oleh Mpu Sindok di wilayah Nganjuk. Kemenangan perang dengan siapa atau kerajaan mana? Mungkin jawaban yang paling logis adalah perang melawan pasukan Kerajaan Sriwijaya. peristiwa perang Anjuk Ladang pada tahun 929. Awalnya pasukan Sriwijaya telah meluluhlantakkan pusat Kerajaan Medang di Jawa Tengah dan Raja Dyah Wawa diperkirakan tewas dalam serangan tersebut.

Kutipan isi prasasti Anjuk Ladang yang menyebutkan hal itu:
A. 14 – 15: … parnnaha nikanaŋ lmah uŋwana saŋ hyaŋ prasada atêhêra jaya[sta]mbha wiwit matêwêkniraŋlahakan satru[nira] [haj]ja[n] ri [ma]layu

 ( di tempat ini [yang telah terpilih] agar menjadi tempat didirikannya bangunan suci, sebagai pengganti tugu kemenangan, [di sanalah] pertamakali menandai saat ia [raja] mengalahkan musuhnya raja dari Malayu).




Bisa dianalisis peristiwa setelahnya yaitu Mpu Sendok sebagai rakyan mapatih hino memindahkan kedatuan ke watugaluh sementara ketu wijaya yg dikatakan sebagai putra raja Medang mendirikan kerajaan Wengker.

Prasasti anjuk ladang 857,859 menunjukkan Mpu Sendok berhasil menahan serangan tentara Sriwijaya di daerah Nganjuk sekarang.
Setelahnya Koalisi Sriwijaya dan Lwaram berhasil menghabisi Prabu Dharmawangsa yg sebelumnya sempat menyerang Sriwijaya.
Kesimpulannya Dyah Wawa atau Rakai Pangkaja/Dyah Wawa tewas karena serangan Sriwijaya ..

Inilah yang di gambarkan dalam kitab sastra Jawa baru babad tanah Jawi yang menyebut alasan Mpu Sindok meninggalkan Medang BHUMI Mataram ke Jawa Timur lantaran tanah Mataram terhantam letusan gunung Merapi. Letusan gunung berapi adalah gambaran telah terjadinya sebuah peperangan besar tidak lain adalah serbuan kerajaan Sriwijaya ke tanah Jawa menyerbu kerajaan Medang bhumi Mataram yang menewaskan Rakai pangkaja atau Rakai Dyah Wawa. Sehingga mendorong hatinya Mpu sendok untuk memindahkan kerajaan Medang bhumi Mataram menjadi Medang Mataram yang berpusat di Jawa timur

 Demikian itulah alur tafsirannya. Bahwa peristiwa di anjuk ladang merupakan lanjutan peristiwa saat maharaja dyah wawa hancur di istana mdang mataram. Setelah tahu mpu sindok membangun kekuasaan di jawa  timur dengan nama medang mataram, sriwijaya yang sudah berkuasa penuh di jawa bagian barat dan jawa bagian tengah jateng segera bergerak ke timur menggempur sindok. Tapi kali ini sriwijaya gagal dan kembali ke barat. 
Sriwijaya sudah tidak punya kuasa lagi atas pulau Jawa sejak Sanjaya berhasil menyatukan pulau Jawa dalam satu pemerintahan, bahkan menurut Carita Parahyangan (CP), Sanjaya melakukan ekspansi ke Bhumi Malayu, perluasan pengaruh Medang ke Sumatera, Semenanjung hingga Indochina dilanjutkan oleh Rakai Panangkaran dan Rakai Panaraban, walaupun kemudian terjadi disintergasi di jaman Rakai Warak Dyah Manara, dengan lepasnya Kamboja, juga Sunda (berdasarkan CP), tapi Sumatera tetap bersama Medang hingga era Rakai Garung, baru lepas ketika terjadi pembagian wilayah di masa Rakai Pikatan dan Balaputradewa, dari sejak itu aktif kembali saling serang Sumatera dengan Jawa hingga era Dharmawangsa Teguh.

Di era selanjutnya pasca kemenangan Pangjalu atas Janggala, dan lepasnya Sumatera dari cengkeraman Chola dengan berdirinya Dharmasraya, Jawa dan Sumatera menjadi dua negara kuat di Nusantara, yang membawahi kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, Dharmasraya di barat, Pangjalu di timur.

 Setelah sanjaya berkuasa, sriwijaya semakin meninggalkan jawa. Tapi di ujung pemerintahan sanjaya, sriwijaya kembali datang ke jawa dan meruntuhkan kekuasaan sanjaya. Begitulah kisah perang dan perebutan kekuasaan antar wangsa jaman pararaja klasih. Jaman dulu hanya ada satu rumus menguasai wilayah atau kerajaan lain, jika ingin menguasai kerajaan lain maka jalan perang yang  harus ditempuh. Dan sriwijaya sejak awal sudah berperang dengan cikal medang (kalingga) sampai jaman medang mpu sindok dan dharmawangsa Teguh.

Peristiwa perang di anjuk ladang juga menguatkan tafsir bahwa kepindahan mpu sindok ke jatim karena serbuan sriwijaya atas kekuasaan maharaja dyah wawa di medang mataram.




Sumber : Di Nukil dari Buku GIRINDRA : Pararaja Tumapel Majapahit ,Karya Siwi Sang. Girindra nusantara siwisang

Diskusi sejarah mempersoalkan Sang Munggwing Jinggan menang, bukan mati.



Copas diskusi sejarah dari Purwanto Heri dengan penulis buku GIRINDRA karya dari pak Girindra Nusantara siwisang yang menurut penafsiran dari purwanto Heri. Sang Munggwing Jinggan menang, bukan mati.

Dulu pernah diskusi dengan Kang Mas Aji Wirabhumi dan Kang Damar Wulung perihal Sang Munggwing Jinggan, yang menurut Nia Sholihat (2008) tewas dalam perang melawan Majapahit.

Pertanyaan saya waktu itu, mengapa Samarawijaya yang katanya tewas kok diberi gelar Sang Munggwing, sedangkan Wijayakarana dan Wijayakusuma yang juga meninggal diberi gelar Sang Mokta ring?

Padahal artinya beda.
Sang Mokta ring / Sang Mokteng = Yang Melesat di
Sang Munggwing = Yang Berdiam di

Pada Nāgarakṛtāgama saya temukan Sang Munggwing Lasĕm = Yang Berdiam di Lasĕm = Indudewi.

Nāgarakṛtāgama ditulis saat Indudewi masih hidup, dan dia disebut Sang Munggwing Lasĕm. Sedangkan prasasti Pĕṭak yang konon ditulis saat Samarawijaya sudah mati, mengapa dia masih disebut Sang Munggwing Jinggan? Kenapa bukan Sang Mokta ring seperti dua adiknya?

Sebenarnya menyebut Sang Munggwing Jinggan meninggal adalah kekeliruan Nia Sholihat saat menerjemahkan Kadigwijayanira Sang Munggwing Jinggan duk ayun-ayunan yudha lawan Majapahit.
Ayun-ayunan diterjemahkan Naik Jatuh. Maka,ditafsirkan Sang Munggwing Jinggan awalnya menang, kemudian gugur.

Padahal ... Kadigwijayanira Sang Munggwing Jinggan duk ayun-ayunan yudha lawan Majapahit = Kemenangan Sang Munggwing Jinggan ketika berhadap-hadapan perang melawan Majapahit.

Jadi, tafsir saya : Sang Munggwing Jinggan menang, bukan mati.
..............................................................................

Analisa dari pak Girindranusantara Siwisang memaparkan dengan detail Analisa sejarah identifikasi tokoh yang dalam prasasti petak 1486M disebut sebagai sang munggwing jinggan atau yang berdiam di jinggan identik dengan bhre koripan wijaya parakrama dyah samarawijaya. 

Dyah samarawijaya adalah putra sulung maharaja rajasawardhana sang sinagara.

Berdasarkan prasasti waringin pitu 1447M, teridentifikasi dua putra rajasawardhana sang sinagara yaitu: bhre matahun (III) wijaya parakrama dyah samarawijaya dan bhre keling (III) girindrawardhana dyah wijaya karana. Serat pararaton bagian ahir mencatat empat putra rajasawardhana sang sinagara yaitu bhre koripan, bhre mataram, bhre pamotan, dan bhre kertabhumi. Tahun 1447M, bhre pamotan dan bhre kertabhumi belum lahir sehingga namanya tidak tercantum dalam prasasti waringin pitu. Kalau sudah lahir sudah barang tentu namanya tercatat dalam prasasti yang dikeluarkan oleh maharaja kertawijaya kakeknya itu. 

Setelah maharaja rajasawardhana naik tahta majapahit menggantikan ayahnya, maharaja kertawijaya yang wafat tahun 1451M berdasarkan pemberitaan serat pararaton, bhre matahun samarawijaya pindah keraton sebagai bhre kahuripan menggantikan kedudukan ayahnya yang sebelum naik tahta majapahit adalah sebagai bhre kahuripan. Jadi bisa dipahami jika putra sulung maharaja rajasawardhana sang sinagara dalam serat pararaton sudah ditulis sebagai bhre koripan. Sementara bhre keling wijayakarana pindah sebagai bhre mataram,  dua adiknya sebagai bhre pamotan dan bhre kertabhumi. 

Naskah banawa sekar yang isinya mengisahkan perayaan sraddha mengenang 12 tahun meninggalnya seorang tokoh (sang sinagara), juga sudah memuat empat putra sang sinagara itu.

Sementara namanya secara lengkap gelar abhiseka tercatat berdasarkan sumber prasasti 1447M dan prasasti 1486M. Nama lengkap empat putra rajasawardhana sang sinagara yaitu: (1) wijayaparakrama dyah samarawijaya, (2) Girindrawardhana dyah wijayakarana, (3) Singawardhana dyah wijayakusuma, dan (4) girindrawardhana dyah ranawijaya. 

Sampai di sini dapat kita ketahui bahwa ketika rajasawardhana sang sinagara naik tahta sebagai maharaja majapahit tahun 1451M, yang kemudian menjadi putra mahkota majapahit adalah bhre koripan wijaya parakrama dyah samarawijaya karena merupakan putra sulung maharaja.

Tahun 1453M, berdasarkan sumber serat pararaton, rajasawardhana sang sinagara wafat. Lalu diberitakan pula terjadi kekosongan kekuasaan selama tiga tahun (1453M-1456M). Pararaton menulis telung taun tan hana prabhu. 

Sementara kita sudah tau bahwa yang seharusnya naik tahta majapahit menggantikan rajasawardhana sang sinagara adalah sang putra mahkota bhre koripan samarawijaya. Pada faktanya, serat pararaton mencatat bahwa yang kemudian naik tahta sebagai maharaja majapahit adalah berturut turut dua adik kandung rajasawardhana yaitu girisawardhana (1456M-1466M) dan diganti oleh bhre tumapel suraprabhawa  tahun 1466M. 

Apa artinya? Artinya adalah sang putra mahkota bhre koripan samarawijaya tidak mendapatkan hak atas tahta majapahit karena yang tampil sebagai maharaja justru dua pamannya. 

Itu yang kemudian membuat bhre koripan samarawijaya mengadakan perlawanan atau tidak mengakui tahta pamannya, maharaja suraprabawa. Itu terjadi setelah dua tahun maharaja suraprabhawa naik tahta. Atau pada tahun 1468M. Serat pararaton menulis, prabhu rong taun, tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara, bhre koripan, bhre mataram, bhre pamotan, pamungsu bhre kertabhumi. 

Serat pararaton telah menulis secara kusus peristiwa 4 putra sang sinagara meninggalkan keraton ketika bhre tumapel (maharaja suraprabhawa) baru dua tahun naik tahta. Tentulah serat pararaton tidak mungkin menulis peristiwa itu jika kepergian mereka dari keraton bukan suatu peristiwa besar. Serat pararaton rupanya sangat halus tidak secara terang terangan menulis ada pergolakan di majapahit. Tapi ditulis dengan kalimat siningit yang harus ditafsirkan. Yaitu ditulis dengan ungkapan SAH SAKING KADATON. 

Bhre koripan samarawijaya kemudian bertempat atau berdiam di daerah Jinggan. Prasasti petak menulis sebagai sang munggwing jinggan. 

Kenapa harus ke jinggan, perlu ditelusur lebih lanjut. Hanya kisah ini hampir mirip dengan kisah ketika erlangga tersingkir dari istana watan mas dan sementara berdiam di pucangan sebelum merebut kembali istana watan mas yang diduduki musuh.

Sampai di sini kiranya cukup mudah dipahami bahwa sekali lagi perlawanan para putra sang sinagara dengan meninggalkan keraton majapahit tahun 1468M-1478M tentu saja pemimpin perlawanannya adalah siapa lagi kalau bukan sang putra mahkota bhre koripan samarawijaya yang mendapat dukungan penuh dari ketiga adiknya dan beberapa tokoh penting seperti brahmaraja ganggadara dan mpu tahan yang kelak diangkat sebagai mahapatih majapahit.

Prasasti petak 1486M yang kelak dikeluarkan ranawijaya mencatat kejayaan perang yang telah dilakukan sang munggwing jinggan. 

Bahwa perang yang terjadi di majapahit tahun 1478M sebagaimana penafsiran bait terahir serat pararaton dan dikuatkan dengan berita prasasti petak 1486M, boleh dibilang merupakan perangnya sang putra mahkota bhre koripan samarawijaya putra sulung maharaja rajasawardhana sang sinagara. Karena yang pada waktu itu paling berhak atas tuntutan tahta majapahit adalah bhre koripan samarawijaya. 

Maka, sangat masuk akal dan punya landasan kuat bahwa sang munggwing jinggan yang disebutkan dalam prasasti petak 1486M sangat identik dengan bhre koripan Wijaya parakrama dyah samarawijaya.

Prasasti petak 1486M diterbitkan oleh maharaja girindrawardhana dyah ranawijaya (serat pararaton dan banawa sekar mengenal sebagai bhre kertabhumi). Itu prasasti pengukuhan anugerah yang sebelumnya pernah diberikan oleh dua tokoh kepada sri brahmaraja ganggadara atas jasa besarnya mendukung perjuangan sang munggwing jinggan hingga mencapai kemenangan dalam perang melawan majapahit. Jadi sebelum ranawijaya naik tahta sebagai maharaja majapahit, ada dua tokoh yang naik tahta sebagai maharaja majapahit. Tidak lain adalah dua kakak kandung ranawijaya yaitu dyah wijayakarana dan dyah wijayakusuma. Keduanya dalam prasasti disebut sebagai bhatara prabhu dan sudah wafat ketika ranawijaya mengeluarkan prasasti tahun 1486M.

Lalu mengapa kakak sulung ranawijaya tidak dicatat dalam prasasti sebagai bhatara prabhu? Lalu mengapa kakak sulung ranawijaya tidak dicatat dalam prasasti sebagai bhatara prabhu?

Harusnya kalo bhre koripan samarawijaya setelah perang 1478M masih hidup, dialah yang kemudian secara hak tradisi naik sebagai maharaja majapahit karena setatus sebagai putra mahkota atau sulung mendiang maharaja sang sinagara.

Dalam prasasti petak 1486M, sekali lagi, menceritakan bahwa perang melawan majapahit adalah perangnya sang munggwing jinggan. Bukan perangnya ranawijaya, wijayakarana, dan wijayakusuma. 

Itu sebenarnya cukup mudah kita pahami bahwa memang pergolakan yang terjadi di majapahit sampai puncak terjadi perang besar tahun 1478M karena bhre koripan samarawijaya berusaha mengambil hak tahta majapahit yang dianggap tidak sah diambil oleh suraprabhawa pamannya. 

Sebagai putra mahkota, bhre koripan samarawijaya tentulah yang lebih pantas dan lebih masuk akal bertindak sebagai pemimpin perang memimpin tiga adik kandungnya.

Kembali ke pertanyaan besar: kenapa bhre koripan wijayaparakrama dyah samarawijaya tidak ditulis sebagai bhatara prabhu dalam prasasti 1486M? 

Penafsiran yang lebih masuk akal adalah karena samarawijaya tidak pernah naik tahta sebagai maharaja majapahit paska 1478M. 

Kalau samarawijaya naik tahta, tentu ditulis oleh ranawijaya sebagai bhatara prabhu, bukan cuma ditulis sebagai sang munggwing jinggan.

Dan kalau samarawijaya pernah jadi bhatara prabhu lalu wafat, tentulah ranawijaya dalam prasastinya menulis dengan kata kata penghormatan SANG MOKTA ring mahalayabhawana atau istilah terhormat dan agung lainnya.

Silakan di cek prasasti petak 1486M dimana mahraja girindrawardhana dyah ranawijaya mengukuhkan anugerah yang pernah diberikan bhatara prabhu sang mokta ring amertawisesalaya (dyah wijayakarana) dan (bhatara prabhu) sang mokta ring mahalayabhawana kepada sri bhrahmaraja ganggadara karena telah berjasa besar mendukung perjuangan sang munggwing jinggan meraih kemenangan perang lawan majapahit.

Kita cermati tiga tokoh yang disebut dalam praasti 1486M: (1) sang munggwing jinggan, (2) bhatara prabhu sang mokta ring amertawisesalaya, dan (3) sang mokta ring mahalayabhawana.

Tokoh sang munggwing jinggan teridentifikasi sebagai wijaya parakrama dyah samarawijaya kakak sulung maharaja ranawijaya.
.......................
.......................
Pak Girindra Nusantara siwisang mendukung penafsiran sejarawati nia kurnia sholihat irfan bahwa bhre koripan samarawijaya gugur dalam perang di majapahit tahun 1478M meski pihaknya meraih kemenangan dengan berhasil merebut tahta majapahit yang diduduki pamannya maharaja suraprabhawa.

Kiranya, Ranawijaya dalam prasatinya memang tidak mencatat secara terang terangan peristiwa gugurnya kakak sulungnya itu dalam perang melawan majapahit tahun 1478M karena merupakan duka dan sejarah kelam bagi keluarga sang sinagara.

Ranawijaya hanya menyebut kakak sulungnya sebagai sang munggwing jinggan.

Meski tidak dikabarkan secara jelas keberadaan bhre koripan samarawijaya, kita dapat membaca yang tersirat dari berita prasasti petak bahwa bhre koripan sang putra mahkota samarawijaya atau sang munggwing jinggan tidak pernah menjadi maharaja majapahit karena gugur dalam perang melawan majapahit tahun 1478M.

Tafsir itu akan terbantahkan jika ada sumber yang mengabarkan bahwa tahun 1486M atau setelahya, bhre koripan samarawijaya  masih hidup.

Hanya yang sulit kita pahami adalah ketika ada tafsir yang menyebutkan bhre koripan sang munggwing jinggan tidak menjadi maharaja majapahit tetapi masih hidup pada saat tiga adik kandungnya bergiliran naik tahta sebagai maharaja majapahit. Sementara diketahui bahwa bhre koripan samarawijaya adalah sang putra mahkota majapahit yang sejak awal berjuang merebut hak atas tahta majapahit yang sudah sepantasnya diterima.

Lepas dari semua itu, sejarah memang multi tafsir dan kita bebas memilih tafsir sejarah mana yang lebih masuk akal.

Pembacaan dari nia kurnia sholihat irfan (yang merujuk terjemahan dari muhammad yamin) terkait prasasti petak: hamrih kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun ayunan yudha lawaning majapahit, mungkin perlu diperbaiki dan terjemahan dari kang Heri Purwanto perlu dipertimbangkan. 

Namun sekali lagi, saya masih mendukung penafsiran bahwa bhre koripan samarawijaya sang munggwing jinggan gugur dalam perang melawan majapahit tahun 1478M.

Yang kemudian menjadi pertanyaan besar selanjutnya adalah: mengapa tiga putra kandung maharaja rajasawardhana sang sinagara berturutan naik tahta sebagai maharaja majapahit.

Sumber diskusi grub sejarah Jawa