Rabu, 27 Mei 2020

KI PENJAWI TIDAK DAPAT HADIAH BUMI PATI DARI HADIWIJOYO





  ~Ki panjawi menurut sejarah yang berkembang di bumi pati nama muslis beliu adalah UMAR, Dalam Babad Tanah Jawi menyebut dia Ki Panjawi  putra dari Ki Ageng Pati, Dalam buku Pustaka darah Agung, Ki Ageng Ngerang mempunyai putra Ki Ageng Ngerang II dan KI AGENG KEMIRI. Ki Ageng Ngerang II berputra Ki Ageng Ngerang III, Dari Ki Ageng Ngerang III lahir Ki Penjawi dan Nyai Ageng Kemiri. Maka dapat disimpulkan bahwa KI AGENG NGERANG III ADALAH KI AGENG PATI. Atau SUNAN PATI

  Sunan Pati bernama Ali Nurul Yaqin, putra Abdullah Nurul Yaqin dan cucu Mohammad Nurul Yaqin, (sunan ngerang I) Dalam literasi sejarah, Ali Nurul Yaqin dikenal sebagai Sunan Ngerang ketiga, yaitu cucu dari Sunan Ngerang pertama.Sunan Ngerang ketiga itulah yang melahirkan Ki Ageng Penjawi, dan menurut dari teman teman pegiat sejarah Pati Ki panjawi nama muslimnya bernama UMAR dan dari mana sumbernya kalau nama muslinya Ki panjawi adalah Umar sempai sejauh ini saya belum menemukan sumbernya  kemungkinan sumbernya dari cerita tutur dan babad kebenaran
Perlu diperhatikan bahwa ada dua nama atau gelar Kemiri di sini, yaitu Nyai Ageng Kemiri saudara perempuan Ki Penjawi dan Ki Ageng Kemiri putra Ki Ageng Ngerang I, yang berarti kapernah embahnya Ki Penjawi. Keduanya tentu tidak mungkin sepasang suami-istri, karena Ki Ageng Kemiri merupakan embah dari Nyai Ageng Kemiri.

Dalam “Reporten, Commisie In Nederlanch Indie, Oudheidkundig Onderzoek” disebutkan, “Kembangjaya, Arga kencana, bupati Pesantenan, (bahasa krama dari Pati), Ia pindah ke desa Kemiri Kulon di bawah onderdistrik KARANGDAWA, dimana ia setelah meninggal di kuburkan di sana. Sepertinya ini Ki Ageng Kemiri yang dimaksud saudara dari kakeknya Ki Penjawi. Sedang yang di desa Kemiri adalah adik perempuan dari Ki Penjawi.

  Dari data silsilah di atas, dapat dipastikan bahwa keluarga Ki Penjawi selalu terkait dengan nama nama dan jabatan dari trah Sunan Ngerang, Kemiri, dan Pati, yang semuanya ada di wilayah Pati. Jadi KI PENJAWI MEMANG PUTRA ASLI PATI, dan PEWARIS BUMI PATI, sejak dari kakek kakeknya, tidak usah harus menunggu dapat hadiah dari Hadiwijoyo setelah dapat membunuh Arya Penangsang, di mana peran mbah Penjawi di dalam Babad Tanah Jawi bikinan Mataram cuma PUPUK BAWANG, dan dapat bumi Pati atas kebaikan Ki Pemanahan . Apalagi setelah ditemukan fakta dari Palembang bahwa Arya Penangsang ternyata tidak dibunuh oleh Hadiwijaya Jaka tingkir kasultanan pajang



SUMBER : GROUP BEDAH SEJARAH PATI YAYASAN ARGA KENCANA

PENULIS :
Susilo Tomo pengiat sejarah Pati

Senin, 11 Mei 2020

CARITA SEJARAH LASEM


CARITA SEJARAH LASEM

Gubahan :
R. Panji Kamzah
Ing tahun Masehi 1858
(tahun jawa 1787)
*********
Katurun / Kajiplak
Dening;
R. Panji Karsono
Ing tahun Masehi 1920
(tahun jawa 1857 sasi pasa)
* Terjemahan:
Pesanku, ingat-ingatlah

Buku CARITA LASEM ini supaya disalin persis, untuk anak cucuku turun-temurun, isi dan kandungannya jangan sampai dirubah. Bukunya kalau sudah sampai usang segeralah di salin dengan yang baru, lantas simpanlah rapat-rapat di tempat yang tersembunyi, jangan boleh dipinjam siapapun, nanti ketahuan antek-antek Belanda. Kalau sampai ketahuan, yang punya catatan ini pasti di hukum Negara.
Sesekali jika menuju sepi dan tak ada lagi yang mesti dikerjakan, jangan lupa cepat-cepatlah membaca buku catatan Carita ini, Carita kakek moyang leluhur kita sendiri di waktu jaman dahulu kala. Agar anak turunmu mengerti dan mengingat pesan leluhur yang selalu mewanti-wanti anak turun semua agar selalu menjaga keluhuran Kabudayan Jawa, leluhur kita. Janganlah kau mabuk, mengunggul-unggulkan kebudayaan orang Maghribi ngatas-angin.
Kelak, jika telah ada yang berubah dari zaman, Priyayi di suruh menanam pohon Mandira di setiap desa, orang-orang Ngarga dan Murya duduk bersila dalam tembang dan kidung Dharmagita, berteduh di bawah payung kembang Tunjung Silugangga; itulah saat penjajah Belanda sudah kacau balau, kocar-kacir. Carita Lasem ini boleh dibaca siapa saja. Yang meinginkan punya boleh menyalin setamatnya, dan boleh juga ditularkan sebebas-bebasnya.
Buku CARITA LASEM ini disalin menjiplak buku yang telah usang dan compang-camping. Buku dari almarhum ayahku yang mengembara; kutulis secara sembunyi dan diam-diam pada tahun jawa 1857 bulan Puasa, di rumah Karangturi Kemendhung.
mBah Karsono
Modine wong Jawa lan Cina
sa Lasem
******************

Bismillah, Niyatingsun nulis Carita Lasem
Awighnam Asthu
Sebelum Pustaka Sabda Badrasanti kusalin dan kutembangkan, akan ku ceritakan riwayat para leluhur Lasem, serta muasal turunnya Wahyu Sabda Badrasanti, juga pasang surutnya lelakon hidup pada jaman dahulu; menurut cerita atau catatan para leluhur di Lasem yang diwariskan untuk anak cucu turun-temurun, yang mestinya merawat dan menjaga pesan dan pelajarannya. Sekarang kutulis menurut keadaan yang sebenarnya, bukan cerita yang telah diselewengkan oleh orang-orang lain yang lancang.
Beginilah ceritanya,
Pada tahun Syaka 1273, adalah Dewi Indu yang menjadi Ratu di Lasem, Beliau adik nakdulur misanane (adik saudara sepupunya) Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta (Majapahit). Dewi Indu seperti Dewi Srikandhi, cantiknya yang teduh seperti bulan purnama. Semua orang di Lasem sampai memberi julukan kepadanya dengan nama: Dewi Purnama Wulan.
Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana, yang menjadi Dhang Puhawang (Panglima Perang Angkatan Laut) di Wilwatikta (Majapahit), menguasai kapal-kapal perang di pelabuhan Kaeringan dan Pelabuhan Regol di Lasem; juga merangkap menjadi Adipati (Pemimpin/Bupati) di Mataun. Pangeran Rajasawardana tampan seperti Harjuna, pintar menembang dan merayu, karena itu ia di beri nama lain: Raden Panji Maladresmi. Mereka berdua begitu rukun dan mesra dalam berumah tangga sampai tua, sampai akhir hayatnya, ibaratnya seperti kemesraan Sang Hyang Kamma Rati dan Sang Hyang Kadharpa.
Dewi Indu meninggal sejak tahun Syaka 1304, Pangeran Rajasawardhana pada tahun 1305; abu perabuan mereka berdua dibuatkan candhi di Gunung Argasoka sebelah Utara. Tepat di sebelah timur Candhi Ganapati Pucangan di bukit Ngendhen.
Candhi perabuan Dewi Indu dan Pangeran Rajasawardhana di buat dari batu Gombong, di lapisi dengan batu Chendani; diapit teduh pohon beringin Brahmastana kembar, di sebelah utara dan selatan Candhi. Pucak Candhi terukir arca Sang Hyang Buddha Sakyamuni, dikurung dalam kelopak puspa widuri; tingkat di bawahnya di tempati arca Dewi Indu yang diukir seperti Sang Bathari Sri Lokeswara di dalam Sanabangta. Undhag bertingkat seperti bukit yang tingginya sedada, pada muka candhi sebelah timur diukir gambar Sang Panji Maladresmi akan berangkat perang, berpamitan kepada Dewi Purnamawulan. Muka candhi sebelah barat tampak gambar Sang Panji sedang merayu dan menentramkan Dewi Purnamawulan yang bersedih karena ditinggal perang sampai akhir mengepung prajurit Pasundhan yang mengabdi sampai mati kepada Sang Baduga Rajanya. Dan setelahnya orang-orang Lasem memberi nama candhi tersebut dengan nama candhi “Malad”.
Pada waktu kerajaan Lasem di perintah oleh Ratu Dewi Indu, wibawa dan pengaruh Sang Prabu Putri begitu besar. Pemerintahannya adil, lurus, dan kencang. Wilayah kekuasaan sang Ratu Lasem ibarat bumi Jawa yang terbelah menjadi dua. Dari Pacitan dan sepanjang sungai/bengawan Genthong sampai pertemuan sungai/bengawan Silugangga di Pangkah Sidayu. Sedangkan semua tanah sepanjang timur bengawan dan semua pulau-pulau se-Nusantara menjadi daerah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk ; yang mana kedua pemerintahan tersebuah menjadi satu di bawah kekuasaanNgawantipura Wilwatikta (Kerajaan Majapahit).
Sang Prabu Putri Lasem seperti Bathari Bodhisatwa Awalokiteswara, yang selalu memberi pengayoman dan memberi keberuntungan kepada rakyat semua. Para Punggawa kerajaan sujud dan berbakti, para rakyat memuji dan meluhurkan namanya.
Negara Lasem yang begitu sejahtera, gemah ripah loh jinawi, menghadap laut di kelilingi gunung dan perbukitan, di belakang hutan pejaten, tergelar sawah yang berbanjar, membentang sayup dan teduh sampai habis penglihatan mata. Lereng gunung Argapura tampak bergerumbul beraneka macam pohon-pohonan. Menjadi rumah bagi berbagai hewan yang berlari-larian. Di setiap pagi terdengar suara burung Merak yang bernyanyi merdu, ayam hutan yang berteriak membahana; burung-burung mengoceh dan makan dari buah beringin dan buah dhuwet atau buah trenggulun, yang tampak lebat dan matang-matang.

Kota Lasem tampak asri dan sejahtera, karena begitu banyaknya pohon buah-buahan yang di tanam sepanjang jalan. Kraton Dalem bertempat di bumi Kriyan, taman-sari balekambang Kamalaputri berada di sebelah tenggara Kraton; banyak pohon kamal-tropong yang tumbuh lebat. Sepanjang kerajaan banyak ditanami pohon sawo kecik, setiap perempatan dan pertigaan jalan ditanam pohon beringin. Setiap halaman rumah tampak pohon kelapa gadhing punyung sepasang, yang buahnya bergelantungan, lebat dan berjejal-jejalan ; tersisipi bunga-bunga beraneka warna ; mawar, melati, gambir, ketongkeng, arumdalu (sedap malam), kemuning dan pacar printhil. Di sebelah kanan kiri rumah ada pohon sawo manela, mangga golek, jambu lumut dan jambe.
Di pekarangan desa berjajar pohon-pohon dengan buah bergelantungan; pohon nangka, blimbing, kelapa dan lain sebagainya. Sepanjang kebon, ladang, ditanami pohon bogor (pohon siwalan); menghasilkan legen (nila pohon siwalan), siwalan dan lontar. Lontarnya digunakan untuk menulis catatan, cerita ataupun pustaka sabda dan tembang-tembang yang digubah. Legen (nila siwalan) dibuat untuk gula atau badheg. Di antara pohon-pohon bogor/siwalan ini ditanami pohon randu yang dirambati tanamanan suruh yang hijau dan segar, suruh ini dipakai untuk jamu/obat sakit perut.
Rumah pembesar dan pejabat di bagian depan tampak asri pohonan sinom/daun asam muda di belakang joglo, rumah Gebyog dari kayu jati yang dihiasi ukiran kekembangan. Rumah para abdi dalem di sekeliling kota, rumah dara-gepak tampak asri bagus dengan pagar anyaman bambu ori yang bersimpul anyam-anyaman limang pakan, yang menjadi lambang dari “Pancawignya” (yaitu: Gotrah (pemimpin Keluarga), Pekah, Pomah (Keluarga), Kradah (Sanak Saudara), dan Pamerintah). Dalem Kraton di tata dengan berbagai hiasan, landasan Saka-Guru dari Watu Selad yang dipahat dan diukir dengan motif Kembang Tunjung, langit-langit penuwun (atap) dhada-peksi tumpang-sari bertingkat tujuh, ganja pipilan curi lumah kurep; rumah Gebyok dihiasi ukiran pending melati selangsang. Dindingnya dari batu bata persegi yang besar-besar dan halus, kepala rumah terpayungi dengan atap papan dengan wuwungan ditutup dengan gendheng(atap rumah dari tanah liat) yang diukir cantik.
Pada waktu itu, agama orang-orang di Lasem adalah agama Syiwa dan Buddha, tapi kedua-duanya menjadi satu dalam Dharma. Padepokan sebagai tempat belajar dan mendalami agama Syiwa berada di Butun Punthuk (tanah tinggi/bukit) Gebang, dan di Samodrawela; dan Panembahan Maha Guru di Butun -lah yang pertama kali mengajarkan ilmu Kasunyatane Hyang Widdhi Esa. Sedangkan padepokan tempat mengajar agama Buddha berada di Punthuk Punggur, juga di Ratnapangkaja. Tempat bagi para mPu Pujangga dan Sarjana yang memuja Sang Hyang Ganapati, berada di PucanganGumuk(bukit) Ngendhen.

Dewi Indu menurunkan pangeran Badrawardana, Pangeran Badrawardana menurunkan Pangeran Wijayabadra, Pangeran Wijayabadra menurunkan Pangeran Badranala. Tiga keturunan trah Dewi Indu inilah yang kemudian turun-temurun menjadi Adipati di Lasem dan tetap menempati Dalem Kraton Indu di bumi Kriyan.
Pangeran Badranala menikah dengan Putri Campa bernama: Bi Nang Ti, menurunkan dua putra; bernama Pangeran Wirabraja dan Pangeran Santibadra. Setelah meninggalnya Pangeran Badranala, yang kemudian menggantikan sebagai Adipati Lasem adalah Pangeran Wirabraja, putra sulungnya.
Selama Pangeran Wirabraja menjadi bupati, belau tidak bertempat di Puri Kriyan Lasem, tetapi pindah dan bertempat tinggal di bumi Bonang Binangun, pada tahun Syaka 1391; berdekatan dengan tempat kubur Rama (ayah) Ibunya di punthuk/bukit Regol. Sedangkan Puri Kriyan ditempati oleh Pangeran Santibadra beserta anak istri dan keturunan-keturunannya.
Pada waktu Pangeran Wirabraja berpindah dan menetap di Kadipaten Binangun itulah, orang-orang yang berdagang dengan berlayar sepanjang Tuban, Gresik, dan Ngampel sebagian telah memeluk agama Rasul (Islam); meninggalkan agama Syiwa dan Buddha. Karena agama Rasul lebih mudah, syarat-syaratnya juga lebih hemat dan ringan; tidak terlalu banyak upacara-upacara dan sesaji beraneka macam yang hanya menghabiskan harta denda. Karena itu, orang-orang di sepanjang tanah pesisir utara lantas dengan rela dan ikhlas meninggalkan agama Syiwa dan Buddha.
Pangeran Wirabraja menurunkan Pangeran Wiranagara; yang sejak kecil sudah belajar mengaji agama Rasul di Ngampelgadhing. Di kemudian hari Pangeran Wiranagara diambil mantu oleh Maulana Rokhmat Shunan Ngampelgadhing, dijodohkan dengan putri sulungnya yang bernama Malokhah. Pangeran Wiranagara kemudian menggantikan ayahandanya menjadi Adipati di Binangun, memerintah menjadi Adipati selama 5 tahun tetapi kemudian meninggal dunia pada tahun Syaka 1401 ; pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh istrinya, Putri Malokhah, janda muda yang baru berumur 28 tahun yang pada waktu itu telah berputra dua ; yang sulung bernama Solikhah, dan yang bungsu baru umur setahun telah meninggal, yang pada saat itu suaminya masih hidup.

Tahun Syaka 1402 dalem Kadipaten Binangun kemudian dipindah lagi ke Lasem oleh putri Malokhah, menetap di bumi Colegawan, berhadap-hadapan dengan dalem Kapangeran Puri Kriyan; yang pada waktu itu ditempati pangeran Santipuspa, Putra sulung Pangeran Santibadra, yang saat itu menjabat sebagai Dhang Puhawang atau Raja/penguasa Lautan di pelabuhan Kaeringan. Dalem Kadipaten Putri Malokhah menghadap selatan, di sebelah utara delanggung (jalan) besar, banyak pohon sowo kecik dan kembang kanthil. Sedangkan bekas Kadipaten Bonang ditempati oleh adik Putri Malokhah yang bernama Makdum Ibrahim, yang masih perjaka kelahiran tahun Syaka 1376 ; dan menjadi Kyai (ulama) guru agama Rasul dan menjadi Muadzin. Yang ketika telah berumur 30 tahun akhirnya diwisudha oleh Shunan Agung Ngampel, dijadikan Wali Negara Tuban yang mengurusi segala urusan agama ke-Rasulan, dan mendapatkan drajat/pangkat sebagai Shunan bertempat di Bonang Lasem, menapak tilas rumah kakak perempuannya, Putri Malokhah.
Tugas utama sebagai Makdum Ibrahim sebagai amanat dari kakak perempuannya, Putri Malokhah, untuk menempati bekas Kadipaten Bonang adalah untuk ikut merawat dan menjaga kuburan Putri Campa Bi Nang Ti sekeluarga yang berada di Puthuk Regol ; serta kuburan Pangeran Wirabraja dan Pangeran Wiranagara yang di kebumikan di bumi Keben. Shunan Bonang begitu taat dan berbakti merawat kuburan Eyang Putri Campa ; Batu Gilang yang ada di sekitar makam dipangkas dan diratakan, dijadikan tempat untuk sujud dan bertafakkur. Berbakti untuk terus merawat Eyang Putri Cempa Bi Nang Ti.

Dalem Kadipaten yang dipindah di Lasem tepatnya di bumi Colegawan oleh Putri Malokhah sebenarnya karena agar ia dapat lebih dekat dengan Pangeran Santipuspa, karena sang Pangeran dijadikan benteng dan pengayoman, serta menjadi penasehat bagi Sri Adipati Putri Malokhah. Para abdi dalem se-Kadipaten Lasem begitu menaruh sungkan, hormat dan begitu mencintai Pangeran Santipuspa, terlebih-lebih para abdi Pambelah di sepanjang Pesisir, sejak dari Menco Dhemeg (Demak) sampai ujung Brondong Sedayu; yang begitu takut dan begitu berbaktinya kepada Pangeran Santipuspa, salah satu Dhang Puhawang (penguasa/panglima laut) yang dianggap telah dikasihi olehSang Hyang Waruna. Yang ke Kedua, Pangeran Santipuspa adalah adik ipar (besan) Putri Malokhah, yang bisa menghibur kesusahan dan kepedihan Putri Malokhah setelah ditinggal mati suami dan putra bungsunya yang baru berumur satu tahun, sewaktu masih menetap di Kadipaten Bonang Binangun. Juga atas kepergian Putri pertamanya, Sholikhah, yang diboyong oleh suaminya, yaitu Arya Jin Bun ; Bintara Dhang Puhawang di Dhemeg (Demak).
Karena itu, untuk menghibur hati dan pikirannya, Putri Malokhah membuat membuat rumah dan taman di tepi pesisir Kaeringan, berdekatan dengan Candhi Samodrawela, candhi pemujaan para Pambelah yang memuja Sang Hyang Waruna ; taman tersebut dinamakan “Taman SITARESMI”.Setelah jaman berubah dan penuh carut marut dan kehancura, nama itu lantas diganti oleh manusia-manusia yang adigung cumanthaka (lancang dan menyombongkan kekuasaannya) , di ganti dengan nama : “Taman Caruban”.

Di dalam usahanya untuk menghibur dan menentramkan diri itulah, putri Malokhah ditemani oleh Pangeran Santipuspa ; yang mana keduanya saat itu menginjak umur 32 tahun. Wajah putri Malokhah seperti Dewi Banowati, sedangkan Pangeran Santipuspa seperti Raden Premadi. Setelah Makdum Ibrahim diwisudha menjadi Wali Negara dengan sebutan Shunan Bonang, beliau semakin kencang sekali mengajarkan dan menyebar-luaskan agama Rasul Islam di tanah Lasem sampai Tuban. Berkebalikan dengan kakak perempuannya, Putri Malokhah, setelah pindah di Puri Kadipaten Lasem, karena begitu seringnya berkumpul dan bertukar pikiran dengan adik ipar-nya, Pangeran Santipuspa, putri janda cantik Malokhah lantas berubah, tersilap oleh Ilmu dan Ajaran Pangeran Santipuspa ; Putri Malokhah menjadi semakin kendur bersembahyang sholat lima waktu, serta tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Shunan Bonang Makdum Ibrahim jadi sangat tercengang setelah mengetahui kakak perempuan yang begitu dihormatinya telah berubah begitu jauh dari Agama. Karena itulah amanat dari kakak perempuanya, Putri Malokhah, lantas tidak lagi diindahkan ; Shunan jadi begitu sering meninggalkan dan tidak lagi merawat Pundhen Regol dan Keben, berpindah di Tuban dan tidak mau pulang sampai berbulan-bulan.

Putri Malokhah menjadi janda sampai meninggal pada umur 39 tahun ; membawa pemerintahan Lasem tanpa ada satupun bencana dan huru-hara, karena kebijaksanaan dan wibawa Pangeran Santipuspa yang membantu Putri Malokhah memerintah Kadipaten. Setelah meninggalnya Putri Malokhah kekuasaan Kadipaten Lasem lantas dirangkap oleh Sang Dhang Puhawang Pangeran Santipuspa, dengan dibantu oleh adiknya bernama Pangeran Santiyoga yang diamanahi untuk menempati Kadipaten Lasem.
Ratusan tahun jauh setelah Pangeran Santipuspa dan Putri Malokhah keduanya meninggal dunia, di masa pemerintahan Kadipaten Lasem di pegang oleh kekuasaan Bupati SuroadimanggoloIII, pemerintahan yang dibuat oleh Belanda Kumpeni Semarang, lantas lahirlah cerita yang salah, yang diselewengkan, yang dibolak-balik, dirubah dari yang sebenarnya. Nama Putri Malokhah dan Putri Campa Bi Nang Ti dan semua keturunannnya dijelek-jelekkan oleh manusia yang begitu benci. Dikarang, dibuat cerita oleh orang-orang yang begitu mabuk kekuasaan. Mabuk surga dan licik akalnya ; mencuri cerita, nekat menghancurkan dan berani menerjang peraturan ; berani mengarang cerita asal-asalan demi kepentingannya masing-masing.
Sigeg

Pangeran Santipuspa kelahiran tahun Syaka 1373. Waktu berumur 18 tahun mendapat amanat dari Ayahandanya, Pangeran Santibadra, untuk menempati Puri Kriyan menemani ibunya dan membantu merawat adik-adiknya yang berjumlah 9; karena sang ayahanda harus pergi ke Majapahit – untuk belajar dan mengabdi pada Agama Syiwa Budha, sebagai amanat terakhir ayahanda Pangeran Santibadra, kakek Pangeran Santipuspa yaitu; Adipati Lasem Pangeran Badranala, sebelum beliau meninggal dunia. Karena hal itulah Pangeran Santipuspa sampai bertekad menjadi perjaka, tidak akan menikah sebelum adik-adiknya yang putri menikah lebih dahulu, dan akhinya Pangeran Santipuspa baru menikah setelah berumur 39 tahun.

Adik pertama Pangeran Santipuspa (anak No. 2, Pangeran Santibadra) bernama : Silastuti, kelak akhirnya menikah dengan Adipati dari Mataun.
Adik kedua Pangeran Santipuspa (anak No. 3, Pangeran Santibadra) bernama : Santiwira, kelak akhirnya menjadi Kyai Ageng Bedhog ; cikal bakal desa Bedhog.
Adik ketiga Pangeran Santipuspa (anak No. 4, Pangeran Santibadra) bernama : Sulantari, kelak akhirnya menikah dengan Tumenggung Pamotan.
Adik keempat Pangeran Santipuspa (anak No.5, Pangeran Santibadra) bernama : Sulanjari, kelak akhirnya menikah dengan Kyai Ageng Ngataka ; yang menjadi cikal bakal desa Karangasem dan desaGedhug
Adik kelima Pangeran Santipuspa (anak No. 6, Pangeran Santibadra) bernama : Silarukmi, kelak akhirnya menikah dengan Kyai Ageng Dhemang Ngadhem.
Adik keenam Pangeran Santipuspa (anak No. 7, Pangeran Santibadra) bernama : Santiyoga, yang mendapat julukan Kyai Ageng Gada, menjadi Bintara Dhang Puhawang membantu kakaknya ; serta menjadi salah satu pimpinan Pathol , mengepalai semua Pathol-pathol Gada sampai Sarang.
Adik ketujuh Pangeran Santipuspa (anak No.8,Pangeran Santibadra) bernama : Santidharma, kelak menjadi Demang di Bakaran, menurunkan para pembesar-pembesar di Juwana dan Jakenan.
Adik kedelapan Pangeran Santipuspa (anak No.9,Pangeran Santibadra) bernama : Silagati, kelak akhirnya menikah dengan Kyai Ageng Sutisna dari Criwik, menurunkan pembesar-pembesar di bumiArgasoka.
Adik kesembilan Pangeran Santipuspa (anak No.10,Pangeran Santibadra) bernama : Santikusuma, kelahiran tahun Syaka 1390. Yang baru berumur satu tahun telah ditinggal pergi Ayahandanya, Pangeran Santibadra ke Majapahit sampai 10 tahun lamanya, sewaktu berumur 2 tahun ditinggal ibunda meninggal dunia. Karena itulah Pangeran Santipuspa begitu sangat mengasihi kepada adik-adiknya. Merasa menjadi wakil dari orang tua, menjadi kewajibannya untuk membesarkan adik-adiknya. Terlebih kepada adiknya yang terakhir, Pangeran Santikusuma, yang belum sampai kenyang meminum air susu ibundanya. Pangeran Santipuspa begitu mencintai dan mengasihi adik ragilnya yang tidak sampai besar ditunggui Ibundanya.

Setelah cukup besar, Pangeran Santikusuma sering sekali diajak kakaknya ke Kaeringan untuk belajar mendayung perahu ; atau menaiki kapal-kapal perang berlayar mengitari lautan Tuban, dan menghadap Kakek dari Ibunya yaitu Shunan Bejagung (Adipati Tuban) di Tuban. Selama berlayar itulah, Pangeran Santikusuma mendapatkan pelajaran-pelajaran dari kakaknya mengenai nama-nama bintang yang menjadi tanda untuk para Pelayar atau para Petani, mengenai saat-saat pergantian musim, saat-saat menjauhnya ikan dan musim di mana pohon-pohon berbunga dan berbuah. Pikiran Pangeran Santikusuma itu begitu tajam, ia juga sangat pintar, cerdas dan banyak akalnya. Pelajaran dan bimbingan dari kakaknya begitu mudah diingat dan dimengerti. Pada dasarnya pengetahuan kakaknya, Pangeran Santipuspa memang begitu luas dan dalam. Ilmu ka Buddhan dan Kabudayan yang diperoleh dari ayahanda Pangeran Santibadra sebelumnya, tak kurang satupun telah diajarkan kepada adiknya Pangeran Santikusuma.

Dan menginjak umur 18 tahun, Pangeran Santikusuma terus tumbuh dengan ilmu yang begitu tinggi dan berwawasan luas, menjadikannya kesulitan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan halus. Ia begitu haus pada pengetahuan. Suka sekali berkelana menjelajah kota, bersilaturahmi kepada saudara-saudara jauh baik laki-laki maupun perempuan. Di tempat-tempat yang baru didatanginya pasti suka bertanya dan berguru kepada para tokoh, cendekiawan atau para ahli di daerah tersebut. Karena itulah pengetahuan Pangeran Santikusuma semakin lama semakin luas ; sedangkan ilmu yang dijadikan dasar pengetahuannya yaitu ngelmu Sabda Badrasanti dari ayahandanya, Pangeran Santibadra. Setelah pangeran mPu Santibadra kembali ke Lasem dan menetap di pertapaan Pamulang Puthuk Punggur, Pangeran Santikusuma sering sekali datang dan tinggal di sana, melayani dan berbakti kepada Ayahanda sekalian menimba pengetahuan kepada Ayahandanya, Pangeran Santibadra.

Menginjak umur 19 tahun, Pangeran Santikusuma ingin sekali belajar ilmu ka – Rasulan kepada kakeknya, Adipati Tuban. Karena Adipati Tuban tersebut merupakan salah satu pembesar Islam / Ulama tinggi ilmu Agamanya, mengajar mengaji kepada santri-santri di pondhok Bejagung. Dan dari kakeknya itulah, Pangeran Santikusuma mendapatkan nama ka – Islaman, bernama ; “Raden Mas Said”. Sepulang dari Tuban dan kembali ke Lasem, Pangeran Santikusuma atau Raden Mas Said sering sekali bertukar pikiran mengenai ilmu ka – Rasulan dengan Shunan Bonang. R.M. Said – Santikusuma kemudian menjadi sahabat karib dengan Shunan Bonang. Dan dari Shunan Bonang itulah R.M. Said kemudian mendapatkan tambahan ilmu Agama ka – Rasulan. Kalimat-kalimat Arab dari ilmu ka – Rasulan kemudian dialih, di Jawakan, disalin dan disandingkan dengan ungkapan-ungkapan ka Buddhan, dikarang oleh Pangeran Santikusuma, diolah dan dijadikan ilmu Kajawen Kebatinan.

Darah Prabu Wijaya Majapahit yang mengalir dalam tubuh Dewi Indu, hanya R.M. Said Santikusuma yang akhirnya begitu terkenal Wira Wegig Wiled Wicaksana (ksatria, ahli, cerdik dan bijaksana). Sampai tidak orang yang ditakuti sekalipun ia adalah ketua perompak atau panglima perang sekalipun, selain hanya ayahanda dan kakaknya, Pangeran Santibadra dan Pangeran Santipuspa. Berwatak lemah lembut, dan mengasihi orang-orang kecil. Tidak takut dengan yang namanya tukang tenung, tukang santet ataupun para penjahat yang sakti mandraguna.

Shunan Makdum Ibrahim yang disebut juga sebagai Shunan Walinagara dan umurnya lebih tua terpaut 14 tahun pun juga menaruh hormat dan segan kepada R.M. Said Santikusuma. Hal itu dikarenakan sejak Shunan Bonang merasa bahwa dirinya pun kalah wibawa dibandingkan dengan Pangeran Santikusuma R.M. Said sang pewaris Kadipaten Lasem berdarah Majapahit dan asli orang tanah jawa, sekalipun eyang putrinya adalah orang dari campa. Yang begitu dihormati dan dikasihi oleh semua orang, khususnya orang-orang kecil dan masyarakat Lasem. Sedangkan Shunan Bonang hanyalah orang kelahiran Ngampel dan berdarah Shunan Paw Lang, Maulana dari Ngatas-angin negaraSmarakandhi. Wibawane Shunan Bonang hanyalah dari kewewenangnya untuk mengatur peraturan dan segala urusan Agama Islam yang pusatnya pada saat itu berada di Ngampel-denta yang dikemudikan oleh Maulana Rokhmat sebagai Shunan Agung.

Karena itulah orang-orang di Lasem memberi julukan kepada Pangeran Santikusuma R.M. Said dengan nama “Pangeran Lokawijaya” (Loka dalam bahasa sansekerta berarti tempat, Wijaya dalam bahasa sansekerta dapat berarti unggul atau kemenangan). Sampai-sampai Arya Jin Bun kepala perompak dan bajak laut di teluk Menco yang berasa dari tanah Palembang beserta semua anak buahnya yang tersebar dan bersembunyi di bumi Glagah-Langu akhirnya bertobat, takut, hormat dan berbakti kepada Pangeran Said. Yang pada akhirnya beliau diangkat sebagai Pangembahan ing Glagah Langubumi Dhemeg (Demak) oleh para masyarakat di daerah tersebut. Kepala perompak Arya Jin Bun akhirnya dijadikan kepala Bintara.

Orang-orang Glagah-Langu yang bekerja sebagai petani, jika hendak menuju glagah, atau sawah dan kebun harus melewati tempat berawa-rawa di daerah tersebut. Rawa-rawa yang terlihat kering di bagian atas tanahnya tetapi di dalamnya penuh dengan lumpur yang basah dan likat. Karena itu mereka harus berjalan merangkak dengan hati-hati atau berjalan ndhemeg-ndhemeg karena jika berdiri takut terperosok ke dalam lumpur dan terjebak tak bisa keluar. Karena itulah tanah di daerah rawa-rawa tersebut dinamai bumi “nDhemeg”, pengucapan oleh orang-orang dari daerah atau desa lain sering menyebut dengan nama “nDemak”. Para petani dan masyarakat di daerah nDhemegtersebut semuanya juga menaruh hormat dan segan kepada Pangeran Said Santikusuma yang telah dianggkat menjadi Panembahan di Glagah-langu tersebut.

Sigeg
Pangeran Santipuspa meninggal pada umur 50 tahun, di kubur di tempat beliau mengabdi sebagaiDhang Puhawang di Kaeringan tepatnya di sebelah barat Chandi Samodrawela tempat pemujaan Sang Hyang Waruna, tidak jauh dari makam Putri Malokhah yang berada di Gedhong Taman Sitaresmi ; dijadikan satu dengan makam 3 Punakawan-pamonge (abdi setia) yaitu : Ging Hong, Palon dan Kecruk. Abdi yang telah berbakti mengabdi sejak Pangeran Santibadra masih berada di Banjarmlati, yang mendapatkan amanat untuk membantu menjaga dan merawat putra-putra Pangeran Santibadra yaituPangeran Santipuspa dan semua adik-adiknya. Mereka mengabdi sampai tua, mengikuti dan melayaniPangeran Santikusuma di Kaeringan dengan penuh pengabdian, sampai meninggal dan makamnya dijadikan satu di bumi Kajungan (pelabuhan) bernama Kaeringan tersebut.
Kubur Pangeran Santipuspa dimuliakan oleh para Pathol dan Pambelah (Nahkoda dan Nelayan). Setiap tanggal 1 Rembulan jatuh pada bulan Waisaka, orang-orang berkumpul mengadakan upacara doa dan keramaian, tontonan berupa Pathol yang bergulat adu kekuatan, lomba mendayung prahu pulang pergi dari Kaeringan sampai Marongan, Jambean dan lain sebagainya.

Sebelum keramaian dan tontonan dimulai, terlebih dulu bebarengan dengan munculnya sinar matahari yang tampak teduh dari puncak Gunung Argapura menyinari seluruh kota Lasem, diadakan Upacara melarung sesaji bubur baro-baro satambir anyar, dan kembang-kembang Mlati disawur, disebar-sebarkan oleh para perawan-perawan yang masih suci. Bubur satambir dari makam Pangeran Santipuspa kemudian diarak, dibawa ke lautan lepas oleh keturunan Pangeran Santipuspa, dengan diiringi para perawan-perawan suci, lantas dinaikkan prahu dan dipajang-pajang, diangkat ramai-ramai oleh para Pathol dan Pambelah. Di bawa ke tengah samudra yang dalamnya kira-kira se-dada. Bubur baro-baro satambir didoakan oleh sesepuh, lantas dilarung sebagai tanda penghormatan untuk menetapi bakti Pangeran Santipuspa sebagai tanda hormat pangeran kepada Biyung Dhenok Cucut Lintang (Induk/ibu ikan cucut lintang), yang telah menolong mengangkat tubuh Pangeran Santipuspasaat Pangeran menemui bahaya, perahu yang dinaikinya terbalik dan tenggelam di tengah-tengah samudra, saat beliau tengah kembali pulang setelah berlayar dari Pulau Bawean, musibah karena dicelakai oleh orang yang memusuhinya. Kanjeng Pangeran beserta abdi dan semua pasukannya tenggelam di lautan, berenang timbul tenggelam di tengah samudra luas dengan ombak yang besar. Di saat beliau tenggelam itulah kemudian beliau memuji dan berdoa kepada Sang Hyang Waruna supaya mendapatkan pertolongan ; doa Pangeran Santipuspa terkabul, dari dalam samudra tampaklah seekor Ikan cucut besar dan ikan-ikan cucut kecil berjumlah ribuan yang berenang –renang dan mengambang di dekatnya. Babon Cucut atau Induk ikan cucut yang besar itulah yang disebut-sebut oleh para Pambelah sebagai Cucut Biyung Dhenok (Induk/Ibu ikan Cucut).

Tubuh sang Pangeran Santipuspa didorong dan diangkat oleh Biyung Dhenok Cucut Lintang tersebut, diangkat dengan kepalanya ke permukaan dan di bawa sampai ke teluk Regol. Begitu juga dengan para abdi setia dan pasukannya, mereka diangkat oleh ikan-ikan cucut lain yang kecil-kecil tapi berjumlah sangat banyak dan digiring diselamatkan sampai ke tepi bersama-sama dengan sang Pangeran. Hingga akhirnya Pangeran Santipuspa dan semua awak kapal dapat selamat dari bahaya.
Pangeran Santipuspa kemudian menghaturkan puja dalam semedi dan mengucap bakti janji dengan ikrar “bahwa sejak hari itu, dia dan semua kuturunannnya jangan sampai mencelakai bahkan memakan ikan-ikan cucut lintang”.

Pangeran Santipuspa menurunkan Pangeran Kusumabadra
Pangeran Kusumabadra menurunkan Pangeran Santiwira
Pangeran Santiwira menurunkan Pangeran Tejakusuma I
Pangeran Tejakusuma I merupakan salah satu keturunan darah Pangeran Santibadra yang pada tahunSyaka 1502 bulan Palguna, hari Soma Manis (Senin Legi) ; meronce Sabda Badrasanti, digubah dibuatGuritan (syair, tembang, puisi bahasa jawa) ; atas perintah dari Kanjeng Sultan Pajang. KarenaKanjeng Sultan Pajang juga memuji dan mengagungkan Serat Sabda Badrasanti Kakawin peninggalan leluhurnya, Pangeran Santibadra. Kanjeng Sultan Pajang merupakan keturunan dari trah Putri Silastutiputri Pangeran Santibadra no. 2 yang kemudian dinikahi oleh Adipati Mataun, Bagus Tingkir Mas Karebet. Sultan Pajang masih cicit dari nenek buyutnya, Putri Silastuti.

Pangeran Tejakusuma I lantas diambil menantu oleh Sultan Pajang, dan diwisudha jadi Adipati Lasem pada tahun Syaka 1507. Beliau kemudian menempati Dalem Kadipaten Lasem yang baru yang beradi di bumi Sadita di sebelah utara jalan besar menghadap mangidul wetan (tenggara) perempatan, berhadap-hadapan dengan Alun-Alun Lasem, pada tahun Syaka 1510 bulan Caitra, hari Buda Manis(Rabu Legi). Dan bertepatan pada hari itu pada sebelah barat Alun-Alun dibuatlah sebuah Masjid dengan atap yang berpola Triratna dan puncak atapnya dihiasi dengan Makuthapraba. Di setiap tepi pelataran Masjid ditanami pohon sawo kecik yang rapat sekali, batang-batang pohonnya sampai saling bertemu; pelataran masjid jadi terlihat begitu teduh. Pangeran Tejakusuma I tinggi sekali laku tirakatnya, dia sering sekali bertapa di Punthuk Punggur , berada dalam semadi yang khusuk di goaPamulang, serta di kubur abu-perabuan Pangeran Santibadra. Karena itulah Pangeran Tejakusuma I mendapat julukan juga sebagai Kyai Ageng Punggur ; yang ketika masih mudanya dulu Pangeran Tejakusuma I juga mendapat nama dari ibunya dengan julukan “Bagus Srimpet”, karena waktu kecilnya dulu waktu dituntun ibunya, sering sekali nyrimpeti (merintangi) ngandul (menaiki) kaki ibunya.

Demi menyebarkan Agama Islam di Lasem yang bisa rukun berdampingan dan diterima masyarakat juga sesuai dengan paham Kejawen Kasunyatan, Pangeran Tejakusuma I lantas mendatangkan seorang Guru atau Ulama Islam yang ahli dalam ilmu Ma’rifat dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi, yang juga masih trah darah atau keturunan dari Shunan Pwa Lang dari Tuban pada tahun Syaka 1547. Maulana Sam Bwa begitu dekat dan taat pada Pangeran Srimpet Tejakusuma I, sebaliknya Pangeran Tejakusuma I juga begitu dekat dan mengasihi Syeh Maulana Sam Bwa ; sampai diambil mantu dan dijodohkan dengan putrinya dari istri selir.
Pangeran Tejakusuma I meninggal pada tahun Syaka 1554, pada umur 77 tahun ; dimakamkan di belakang Masjid Lasem, tepat berada di belakang pengimaman. Kyai Guru Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi meninggal pada tahun Syaka 1575 pada umur 61 tahun, dan di kubur di sebelah utara serambi Masjid Lasem.
Pangeran Tejakusuma I menurunkan : Pangeran Tejakusuma II
Pangeran Tejakusuma II menurunkan : R.M. Wingit dan R.M. Wigit ; R.M. Wigit adalah putra terakhir dan menjadi Adipati Lasem dan mendapat gelar dengan nama Raden Panji Arya Adipati Tejakusuma III, dan merunkan R.P.A.A. Tejakusuma IV.
R.M. Wingit putra pertama dari Pangeran Tejakusuma II sejak kecil telah hidup dan pindah denganKanjeng Sultan Agung di Mataram, lantas menikah dan dijodohkan dengan seorang putri yang masih cucu dari Kanjeng Sultan. Tetapi setelah Sultan Amangkurat I diangkat menjadi Raja di Mataram dan bersekutu dengan kumpeni (penjajah) Belanda, apalagi perwatakan Raja baru tersebut kasar, sombong dan sok besar ; R.M. Wingit menjadi tidak betah hidup di Mataram, karena tidak suka dengan sikap dan perilaku Sultan Amangkurat I. Raden Mas Wingit lantas pamit dari Mataram dan pulang kembali ke tanah kelahiran nenek moyangnya di Lasem, membuka hutan dan menjadi cikal bakal dari desa baru di hutan Kajor ; namanya berubah menjadi Pangeran Kajoran atau Panembahan Rama. Setelah Pangeran Adipati Anom putra Sultan Amangkurat I bersekutu dengan Raden Trunojoyoberusaha untuk berkudeta menggulingkan pemerintahan ayahnya, lantas R.M Wingit Pamembahan Rama ikut membela dan membantu menantunya, Raden Trunojoyo melawan Sultan Amangkurat I. Tetapi, kelak di kemudian hari setelah Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi raja dan mendapat gelar Sultan Amangkurat II menggantikan ayahnya, justru berbalik dan gantian memusuhi Raden Trunojoyo dan Panembahan Rama.

Orang-orang Mataram yang pernah disiksa dan dipermainkan oleh Sultan Amangkurat I lantas ikut mengungsi ke Lasem dan membuka hutan Megamalang dan membuat desa baru. Mereka pun turut bersekutu dengan Panembahan Rama melawan Kumpeni Belanda dan Sultan Amangkurat II. Perangnya Brandal Lasem (Brandal adalah istilah yang dipakai Penjajah Belanda dan sekutunya untuk menyebut pemberontak) melawan Kumpeni Belanda dan Prajurit Sultan. Para Brandal Lasem terpojok saat berperang dengan pasukan Belanda yang bersenjatakan senapan dan meriam. Raden Mas Wingit Panembahan Rama Kajoran akhirnya tertangkap oleh Belanda saat mengungsi di desa Criwik. Dia ditipu dan dijerumuskan oleh temannya sendiri satu pesantren saat belajar mengaji yaitu Kyai Ambyah ; Guru di Pesantren Warugunung, yang tega menipu sahabatnya sendiri demi mendapatkan ganjaran dariSultan Amangkurat II. Raden Mas Wingit Pangembahan Rama akhirnya dihukum mati dengan dipenggal kepalanya oleh serdadu Belanda dari Bugis, di sebelah timur dukuh Tulis. Tubuh R.M. Wingit Panembaha Rama akhirnya dapat diselamatkan oleh Brandhal dari desa Megamalang yang berpura-pura menjadi orang dari dukuh Tulis. Tubuhnya lantas dimakamkan oleh para Brandal di punthuk Seklonthok. Desa Kajor lantas dihancurkan dan diluluh lantakkan oleh Belanda. Orang-orang berlarian dan mengungsi ke hutan-hutan Argasoka, dan yang di kemudian hari akhirnya menjadi cikal bakal membuka desa-desa baru di sana.

Raden Panji Sumilir putra sulung dari R.M. Wingit Panembahan Rama Kajoran, juga terpepet dalam perang bersama pasukannya, lantas mengungsi di tempat orang Kanung yang memuji dan merawatPundhen Candhi Malad di dukuh Lowah. Pada waktu itu istri Raden Panji Sumilir sedang begitu kesusahan karena mengandung dan akan melahirkan, yang akhirnya juga ikut mengungsi bersama-sama suami dan para Brandhal lainnya. Bersamaan ketika istrinya melahirkan, Raden Panji Sumilirmendapatkan kabar bahwa ayahnya R.M. Wingit Panembahan Rama telah dihukum mati kisas /penggal oleh Kumpeni Belanda atas perintah Sultan Amangkurat II ; seketika itu meledaklah tangisRaden Panji Sumilir, diangkatlah jabang bayi anaknya yang baru saja lahir setinggi kepalanya dan menyucapkan sumpah prasetya : “Sakturun-turune bakal nglawan Kumpeni lan kabeh begundhal-begundale Walanda ( Semua keturunannnya kelak akan melawan penjajah dan semua antek-antek Belanda )”. Jabang bayi yang lahir pada saat munculnya sinar matahari, saat kembang-kembang duren tengah mekar pada bulan Jumadilakir tahun Jawa 1602 itu lantas diberi nama : Raden Panji Suryakusuma.
*****


Pada waktu itu, tepatnya bulan Jumadilakhir tahun Jawa (1601), bumi Lasem menjadi begitu membara karena diinjak-injak Kumpeni Balanda dan prajurit-prajurit Sultan Amangkurat II beserta antek-anteknya. Mereka datang menyerbu, merusak dan meluluh-lantakkan tanah Lasem.
Brandhal Lasem yang dipimpin oleh tiga pemimpin : Raden Trunojoyo, Raden Mas Wingit (Panembahan Rama / Pangeran Kajoran), Rade Mas Wigit (Pangeran Tejakusuma III) melawan Belanda beserta antek-anteknya, dengan tekad : “Lila sukung nyawa kanggo nglabuhi bumi Lasem aja nganti dikuasai Walanda (rela menyerahkan nyawa demi menjaga tanah Lasem jangan sampai dikuasai oleh penjajah Belanda)”. Bantheng-Bantheng Lasem yang gugur di palagan telah tak terhitung jumlahnya, menerima maut dengan lapang dada, rela mati di tangan singa-singa Belanda dan anjing-anjing Belanda yang hanya menerima imbalan tulang kerbau dan sapi.
Sampai setahun lamanya desa-desa se-Lasem jadi begitu sepi dan hampa, karena peperangan yang seolah tak ada henti-hentinya. Setelah Rade Mas Wigit (Pangeran Tejakusuma III) menemu ajal dipalagan (medan pertempuran) waktu bulan Jumadilawal tahun 1602, tubuhnya diungsikan kerabatnya dan dimakamkan di Pejaratan Brangkal. Raden Trunojoyo beserta pasukannya terpukul mundur ke timur sampai ke tanah Bulu, lantas Raden Mas Wingit Panembahan Rama Kajoran tertangkap musuh dan dihukum pancung (penggal leher) pada waktu maghrib bulan Jumadilakir tahun Jawa 1602. Bumi Lasem sejak itu secara nyata dikuasai Belanda dan para antek-anteknya.
Kyai Ambyah, sahabat R.M. Wingit Panembahan Rama yang berkhianat dan menjerumuskan sahabatnya sendiri akhirnya mendapatkan imbalan oleh Sultan Amangkurat II dengan diangkat sebagai penguasa Lasem dan diberi gelar Puspayuda yang berpangkat Tumenggung ; menggantikan Adipati Pangeran Tejakusuma III yang gugur di medan pertempuran demi mempertahankan tanah negaranya.

Tetapi baru memerintah Lasem kurang lebih satu tahun, pada akhirnya Kyai Ambyah menemu patikarena diracun oleh salah seorang abdi yang benci kepadanya. Sultan Amangkurat II lantas mengangkat Pangeran Tejakusuma IV menjadi Adipati Lasem, yang pada waktu itu mengabdi kepadaSultan Amangkurat II serta Kumpeni Belanda. Sebenarnya sikap Pangeran Tejakusuma IV tersebut hanyalah salah satu siasat yang digunakan untuk memperoleh kesempatan dan kembali menyusun kekuatan melawan Belanda dan antek-anteknya. Dengan diam-diam Pangeran Tejakusuma IV mengirim barang-barang berupa baju, makanan dan senjata serta barang-barang lain kebutuhan para Brandhalyang tengah bersembunyi di sekitar Gunung Argasoka. Bahkan barang-barang tersebut diambil sendiri oleh para Brandhal ; supaya tidak diketahui oleh orang lain.

Dalam waktu yang tidak begitu lama bumi Lasem telah kembali tentram dan dingin, tidak ada huru-hara sekalipun, tetapi sebenarnya di mana-mana dada semua orang Lasem begitu panas membara seperti api ditumpukan padi. Di Gunung Argasoka dan hutan-hutan sekitarnya Brandhal-Brandhal bermukim, membuat padhepokan yang tersebar dan bersembunyi di sudut-sudut kegelapan yang tak bisa dijangkau oleh musuh. Para Brandhal tersebut sebenarnya adalah campuran para pemberontak dari daerah lain yang menjadi satu, diantaranya ; Mataram, Purwodadi dan Lasem. Tetapi telah sama-sama satu bertekad ; “Sayuk saiyeg sabaya pati ; bersama-sama saling membantu sampai mati“. Tekad yang terus terjaga sampai kesemua keturunan-keturunannya, berperang melawan dan melenyapkan kekuasaan Kumpeni Belanda. Terlebih, para Brandhal tersebut merasa masih satu darah keturunan dari Eyang mPu Pangeran SANTIBADRA, yang telah tersebar sampai ke mana-mana, dan sekarang mereka telah terkumpul kembali menjadi satu dan mukim di dekat tempat perabuan Leluhur sendiri (Pangeran Santibadra) di punthuk Punggur Gunung Argasoka. Di tempat persembunyian-persembunyian tersebut mereka menentramkan diri, merasa seolah tengah diayomi dan dijaga oleh Leluhur sendiri yang saat semasa hidupnya dulu selalu merawat dan menasehati keturunan-keturunannya untuk selalu menjaga dan meluhurkan KABUDAYAN PRIBADI, jangan sampai terbawa oleh kabudayan asing dari negara Ngatasangin dan negara-negara lain. Karena itu, mereka paraBrandhal dan kesemua keturunannya masih tetap menjaga ilmu dan petuah Sabda Kanjeng Pangeran mPu SANTIBADRA, dan terus melestarikan menanam pohon MANDIRA dan TUNJUNG – Trate di bumi NUSANTARA.


Pangeran Tejakusuma IV manjadi Adipati Lasem sampai tua dan meninggal, sejak tahun jawa 1604 sampai tahun 1637. Memerintah dengan bijak, tidak mengecewakan seluruh rakyat juga kepada paraBrandhal yang bersembunyi di hutan-hutan sekitaran Gunung Argasoka yang pada akhirnya bermukim dengan tenang, membuat rumah, membuat desa baru dan bekerja sebagai petani di tempat persembunyian, tanpa pernah disergap oleh Belanda dan antek-anteknya. Bahkan para Brandhalkemudian belajar menulis dan membaca aksara jawa, mereka juga senang membaca Pustaka Sabda Badrasanti Guritan yang digubah oleh Pangeran Tejakusuma I. Dan sungguh kebetulan pada tahun itu (tahun jawa 1604) di kampung Pecinan Lasem telah ada seorang Cina beserta saudara-saudaranya yang membuat kertas dari dhedhak (sisa gilingan padi). Karena itu begitu mudah masyarakat Lasem dapat membeli kertas di kampung Pecinan tersebut ; terlebih kepada pada Penulis Pustaka Sabda Badrasanti, yang mendapatkan sumbangan kertas dari Adipati Lasem R.P. Arya Tejakusuma IV, yang begitu menyanjung dan memuliakan Pustaka Badrasanti warisan leluhurnya.
Karena begitu menghormati Ajaran Sabdanya mPu Kangeng Pangeran Santibadra, yang supaya semua keturunan-keturunannya mengagungkan Seni-Budaya sendiri, lantas R.P.A.A Tejakusuma IV sejak tahun Jawa 1606 membuat Wayang yang bisa di-tari-kan. Dibuat dari kayu jati yang dipahat, tangannya dipasangi cempurit (tangkai wayang), tubuh Wayang dibuat meniru dari bentuk tubuhWayang Beber. Walaupun di keraton Mataram sudah ada Wayang yang dibuat dari kulit sapi, tetapi orang-orang di Lasem masih banyak yang menghormati sapi karena masih ada orang-orang yang memuji Lembu Nandini dengan memberi sesaji yang terletak di Pasraman Butun Punthuk Gebang, serta setiap tahun masih memberi upacara “Ngalungi”. Orang-orang tersebut menghindari diri untuk memakan daging sapi dan menggunakan kulit sapi, kecuali orang-orang yang telah berpindah Agama Rasul (Islam) ; karena di agama Rasul memakan daging sapi sudah bukan lagi termasuk larangan.

Pangeran Tejakusuma IV memerintah tukang pahat kayu dari desa Ketandhan bernama Ki Mijan, diajak untuk membuat wayang dari kayu jati dan dinamakan “Wayang Krucil”. Lakon cerita mengangkat cerita Panji Lasem, sejak dari Panji Malad (Pangeran Rajasawardhana) sampai ke lakon Panji Sitaresmi. Para Panji di Punakawani (didampingi abdi setia) oleh para tiga pamong setia dari Banjarmlathi, yaitu abdi yang mengabdi setia sampai meninggal ; Ghing Hong, Palon dan Kecruk.
Pada waktu itu juga, orang-orang dari dhukuh Ngablek begitu senang dan sering sekali membuat pagelaran tontonan bernama Emprak yang diketuai oleh mantan kepala Brandhal dari dhukuh Lowahbernama Ki Guntur ; tetapi karena bentuk dan sifat dari tontonan Emprak yang hanya berisi banyolan yang membosankan dan sering kali kasar dan tidak sopan, akhirnya R.P.A.A. Tejakusuma IV ikut campur merubah konsep pertunjukan dan cerita. Ki Guntur diajak merubah membuat lakon baru tentang cerita Panji Kedhiri, yang menceritakan kisah kerajaan, diberi sifat-sifat Ksatria yang memberikan contoh mengenai aturan, sopan-santun dan kesusilaan. Lakon baru tersebut akhirnya di beri nama “Andhe-Andhe Lumut”.

Sewaktu R.P.A.A . Tejakusuma IV memerintah kekuasaan di Kadipaten Lasem, pengabdiaanya kepadaKraton Mataram hanyalah kebohongan belaka. Sejak Sulthan Amangkurat II bersekutu dengan penjajah Belanda, lantas penggantinya Sulthan Amangkurat III pun sama saja apalagi Sulthan baru tersebut mempunyai tabiat yang buruk, suka marah, semena-mena, berwajah buruk lagi cacat kakinya sehingga semua abdi banyak yang tidak suka. Sulthan Amangkurat III kemudian di ganti oleh Sulthan Pakubuwana I (Pangeran Puger) pun ternyata sama saja sifatnya denga raja-raja sebelumnya, bahkan semakin dekat dan mendukung penjajahan Belanda, yang semakin lama semakin nyata menguasai tanah jawa. Karena itulah R.P.A.A. Tejakusuma IV pun memilih menepi, tidak mau ikut campur, tidak mau ikut-ikutan dalam perebutan kekuasaan ditubuh Kraton Mataram yang silih berganti hanya bersekutu dan membela kepentingan penjajah Belanda. Beliau hanya memerlukan jabatan Adipati Lasem yang sedang dijabatnya saat itu untuk menata wilayah Kadepaten Lasem dan semua masyarakatnya. Dijaga, dan dirawat sedemikian rupa agar Lasem kembali tentram dan sejahtera.
Sepeninggal R.P.A.A. Tejakusuma IV, yang menggantikan beliau menjadi Adipati Lasem adalahPangeran Tejakusuma V. Semua Adipati Lasem sejak Pangeran Tejakusuma I sampai Adipati Pangeran Tejakusuma V menempati Puri dalem Kadipaten di Soditan. Sedangkan Puri Kriyan dan Puri Putri Malokhah kosong tak lagi berpenghuni sejak ditinggal Pangeran Santiwira sekeluarga bertapa dan menetap di puncak Gunung Argapura, karena merasa sudah tidak bisa dekat lagi dengan abdi dan rakyat yang telah berpindah agama Rasul (Islam) ; sampai tua dan meninggal dimakamkan di puncak Gunung Argapura. Kedua Puri Dalem bersejarah tersebut akhirnya tidak terawat dan rusak karena tidak ada yang merawat sama sekali, pekarangannya cukup luas lantas ditempati oleh saudara-saudara yang masih merasa keturunan Pangeran Santibadra, atau trah dari Dewi Indu.

semanten ka aturaken
matur sembah nuwun
kamcia

Minggu, 10 Mei 2020

CERITA BABAD SEJARAH DESA JEMBUL WUNUT


CERITA BABAD SEJARAH DESA JEMBUL WUNUT
Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati 

sawah desa jembul wunut

PENDAHULUAN

~Sejarah merupakan hal yang menjadi dasar suatu tempat berdirinya kehidupan, dimulai dari kehidupan di masa lampau dan sejarah adalah interprestasi yang di dalamnya tidak lepas dari sebuah penelitian, penganalisaan, dari berbagai sumber Pada kesempatan ini, Penulis berusaha untuk menggali sejarah desa jembul wunut kembali yang sebelumnya di tahun tahun yang lalu sudah di gali dan di tulis, kali ini mencoba untuk di tulis ulang dan di rekrutruksi sejarah Asal Mula Suatu Tempat atau Sejarah terjadinya DESA JEMBUL WUNUT yang sebelum nya sudah di tulis oleh bpak Drs SUYADI warga desa jembul wunut, yang menjabat sebagai perangkat desa sampai sekarang
Siapa pendirinya dan bagaimana proses terjadinya sebuah desa?
Tujuan dari penulisan ulang ini tiada yang lain hanya untuk memperbaharui sejarah yang sudah di tulis oleh tim hari jadi kota pati dalam rangka lomba sejarah di pemerintahan pusat Jakarta, Dan di sini tentunya menjaga arsib desa supaya tidak akan hilang di telan lapuknya usia dan generasi penerus bisa mengetahui Asal Mula Terjadinya Desa Jembul Wunut, dan sejarah Desa Jembul wunut ini tidak hilang begitu saja dari ingatan masyarakat khususnya warga Desa Jembul wunut, sejalan dengan perkembangan zaman di era melenia ini banyak dari sekalangan masyarakat yang sudah meng imanni, meyakini sejarah desa yang bersumber dari sebuah kesenia cerita ketoprak terkhusus kesenian ketoprak di kabupaten Pati. Ketoprak di kab Pati hanya sebuah kesenian yang tentunya bukan sebuah sumber sejarah. Karena itulah Penulis yang salah satunya termasuk Putra desa jembul wunut yang pada saat menulis ulang buku ini berusia 32 tahun kelahiran 1988 bergabung dengan komunitas Bedah sejarah pati yayasan Arga Kencana, berniat sekali untuk menulis ulang sejarah desa jembul wunut denggan berbagai macam medote. Di antara metode yang di gunakan penulis antara lain:

1. Adaptasi

2. Observasi

3. INTERWEU (wawancara dengan nara sumbernya langsung)

Bahan yang penulis dapatkan dari Tutur Tinular (cerita atau keterangan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan turun temurun), serta dilengkapi dan dikuatkan dengan obyek peninggalan sejarah setempat di desa jembul wunut terdapat beberapa makam keramat yang sampai sekarang masih di jaga oleh masyarakat setempat. Di antara makam makam tersebut antara lain:

Makam syehk Abdul Rozak Muhammad Abdullah dukuh Gosari, Gedong Gosari.
Makam syehk Kudo negoro Makam Gedong Tenggah.
Makam syehk Kudo Panoleh Makam Gedong tengah.
Makam syehk Mantri Gedong Tenggah.
Makam syehk Suto Wancono Gedong Ndadah.


kompleks pemakaman gedong Gosari



II. HIPOTESA
Berdasarkan tutur tinular serta dikuatkan dengan obyek peninggalan yang ada, maka hipotesa penulis menyatakan bahwa pendiri atau cikal bakal Desa Jembul wunut adalah orang yang punya sebutan Ki Gede Watu Bangko Trenggulunan, Ki Gede Watang, Ki Gede Gender yang berasal dari desa ngablak yang dipindahkan atau di suruh berpindah dari Watu Bangko Trenggulunan oleh Ki Gede Kiringan atau Ki Ageng kiringan, atau syekh Abdullah Al Asyiq. di Dukuh Gosari Desa Jembulwunut Gunungwungkal sampai akhir hayatnya dan di makamkan di dukuh gosari desa jembul wunut

III. METODE ADAPTASI
Penulis menggunakan metode Adaptasi karena penulis sendiri putra desa jembul wunut , yang dari kecil sampai dewasa hidup di desa jembul wunut dan tidak akan pernah lupa siapa siapa sesepuh desa jembul wunut sebagai Narasumber yang bisa memberikan keterangan atau cerita-cerita yang ada hubungannya langsung dengan Babat Sejarah Desa Jembul Wunut . Dari keterangan atau cerita tersebut akan menjadi bahan penulisan babat sejarah terjadinya Desa Jembul wunut yang tidak menyimpang dari yang sebenarnya. Dan di tulis denggan kejujuran tentunya denggan izin sesepuh sesepuh desa jembul wunut Dari hasil adaptasi penulis dengan para nara sumber bahwa di Makam Desa Jembul Gosari Beliu Ki Abdul Rozaq yang punya sebutan Ki Gede Watang, Ki Gede Gender, Ki Gede Watu Bangko Trenggulunan, yang menurut keterangan dari narasumber dari Penulis Babad desa ngablak beliu berasal dari desa ngablak di suruh berpindah ke sebelah selatan desa ngablak oleh Ki Gede Kiringan Dan Kemudian menetab di dukuh Gosari Desa Jembul Wunut.

V METODE OBSERVASI
Melihat serta mengamati obyek-obyek yang ada hubungannya dengan babat sejarah Desa Ngablak seperti Watu Bangko Trenggulunan, Sawah Boyo, Sawah Kali Tengah, Sawah Plintahan, Watu Damar, Watu Pawon, Duren Gede dan Makam di Nggosari Jembul. Obyek-obyek itu ada ceritanya sendiri-sendiri (dari masing-masing obyek tersebut). Selain itu dari tutur tinular yang telah penulis dapat mendengar langsung cerita maupun penuturan dari narasumber yang pernah penulis hubungi yang sudah meninggal maupun yang masih hidup, hasilnya sama dalam cerita maupun dalam penuturan tuturan tinular.
Bahwa Ki Gede Ngablak yang mempunyai nama sebutan Ki Gede Watang, Ki Gede Gender, Ki Gede Watu Bangko Trenggulunan yang nama sebenarnya adalah Ki Abdul Rozaq adalah adik angkat dari Ki Gede Kiringan (Ki Asyiq). penulis wawancarai dan menurut penglihatan langsung dari penulis waktu kecil sampai sekarang, bahwa Ki Gede Ngablak yang punya sebutan nama lain yaitu : Ki Abdul Rozaq yang dipindahkan oleh Ki Abdul Asyiq Kiringan ke Gosari Jembul dan meninggal dan dimakamkan di situ (di Gosari Jembul) Kecamatan Gunungwungkal.

VI METODE INTERVIEW (WAWANCARA)
Keterangan-keterangan atau cerita-cerita dari orang-orang tua dari desa jembul wunut dan desa ngablak sebagai nara sumber yang telah penulis wawancara (interview)
Ada satu narasumber yang tidak putra dari desa jembul wunut beliu adalah penulis babad Ngabalak Semua cerita penuturan keterangan dari semua para narasumber sama tidak ada yang menyimpang maupun berbeda. Yang babat hutan dan akhirnya menjadi Desa Ngablak adalah orang yang punya sebutan Ki Gede Watang, Ki Gede Watu Bangko Trenggulan, Ki Gede Gender, Ki Gede Ngablak, yang meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Gosari Jembulwunut Kecamatan Gunungwungkal.
Tidak semua nama dari narasumber penulis masukkan di sini, karena keterangan atau ceritanya sama tidak ada yang berbeda.
Kesimpulannnya bahwa Ki Gede Ngablak, yang punya nama sebutan Ki Gede Gender, Ki Gede Watang, Ki Gede Watang, Ki Gede Watu Bangko Trenggulunan adalah orang yan dipindahkan Ki Gede Kiringan ke Desa Jembul sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di dukuh gosari desa jembul wunut
……..



CERITA LEGENDA BABAD DESA JEMBUL WUNUT




~Salam sejahtera semoga selalu mendapatkan Rahmat dari Tuhan yang maha esa tidak lupa dengan ucapan puji syukur alhamdhulillah saya mulai kembali menulis ulang sejarah desa jembul wunut yang sebelumnya sudah di tulis oleh bapak Drs Suyadi. Dan sedikit saya refisi bedasarkan hepotesa dari berbagai sumber yang beberapa kali di temukannya sebuah sumber di sekitaran lereng gunung Muria, analisa bedasarkan sebuah sumber desa desa di sekitaran gunung Muria ini sudah ada sejak semasa kerajaan Mataram i poh pitu pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah balitung. Pada tahun 800 san Masehi. Ada sebuah penumpukan zaman sehingga di sinyalir desa desa yang sudah ada di masa Mataram i poh pitu berangsur angsur hilang dan yang tersisa hanya sebuah Yoni dan batu lumpang, dan berganti dengan desa desa yang baru setelah runtuhnya kerajaan Mataram i poh pitu di sekitaran lereng gunung Muria hal ini terjadi semasa peralihan kekuasaan Demak ke pajang, pajang ke Mataram Islam. Dan sebelum pegunungan Muria dengan pengunungan kendeng menyatu, banyak sekali sebuah karya sastra yang di tulis oleh pujanga pujanga Jawa di antaranya sastra sastra itu berupa Babad tanah Jawi, Babad Pati, Postaka darah agung, serat syekh jangkung, serat cebolek, babad saradrah dan masih banyak lagi karya sastra pujangga pujangga Jawa baru lainnya, mengali sejarah desa jembul wunut pastinya juga tidak akan lepas mengali sejarah desa desa di sekitarannya sejarah desa jembul tidak akan lupa dengan cerita sejarah Babad sejarah desa Ngablak kecamatan cluwak.

~Desa jembul wunut kecamatan gunung wungkal kabupaten pati desa ini jauh dari keramaian letaknya yang di himpit dua sungai perbatasan di antara pegungungan dan dataran, desa ini terletak di sebelah selatan desa bendokaton kidul dan di sebelah utara desa ngetuk desa sumberrejo di sebelah timurnya desa bancak, di desa ini terdapat tiga makam keramat, yang masyarakat desa menyebutnya GEDONG GOSARI, GEDONG TENGAH, GEDONG NDADAH, ketiga gedong ini mempunyai wali atau sosok penyebar agama islam dari gedong gosari yang bernama syekh abdul rozaq, gedong tenggah syekh kudo negoro, gedong dadah bernama syekh suto wancono dan masih ada makam yang di keramatkan oleh warga yaitu mbah mantri dan mbah kudo panoleh, nama nama-wali atau leluhur desa jembul wunut sampai sekarang dari para pengiat dan pemerhati sejarah di pati belum menemukan silsilah yang pas dari berbagai sumber sejarah, dalam babad pati sendiripun tidak menceritakan, bahkan babad pati sendiri di ragukan kevalidtannya oleh para peminat pemerhati sejarah bedah sejarah pati dalam yayasan arga kencana, yayasan yang bergerak dalam rangka menyusuri dan merekrutruksi sejarah sekabupaten pati. Dan di luar dari Tim hari jadi kota Pati.

Sejarah desa jembul wunut yang selama ini bersumber dari babad pati karya tim hari jadi kota pati sayogyanya harus di rekrutruksi dan di susun kembali supaya tidak menjadi sebuah penyesatan sejarah dan masyarakat desa jembul tidak terdoktrin dengan sejarah hasil dari karya dari tim hari jadi kota pati yang pada akhirnya hanya demi untuk meraih gelar adipura kencana, saya sebagai putra desa jembul wunut sangat antusias dalam mensikapi hal ini, karna menyangkut desa tanah kelahiran saya dan para leluhur leluhur desa,

Babad desa jembul wunut kecamatan gunung wungkal tidak akan lepas dari babad desa ngablak kecamatan cluwak, bedasarkan cerita tutur tinular babad desa ngablak, sejarah awal desa jembul wunut kecamatan gunung wungkal bermula, tertulis dalam cerita sejarah babad ngablak
Ki Gede Ngablak, Ki Gede Watu Bangko Trenggulunan, Ki Gede Gender, Ki Gede Watang
Nama nama di atas hanya sebuah nama gelar bukan nama asli dan nama aslinya sendiri belum di ketahui, masyarakat desa jembul wunut mengenal dengan nama syekh abdul rozak muhammad abdullah, menurut tutur cerita dari sang juru kunci nama ini bermula dari sewaktu makam di dukuh gosari ini di buka oleh salah satu ulama dari desa pondowan tiada yang lain beliu adalah Mbah yai muhammaddun desa pondowan bapaknya Abah yai aniq pendiri pondok pesantren mambaululum desa pakis. menurut dari cerita tutur juru kunci makam gedong gosari atau yang masyarakat jembul wunut mengenalnya Mbah SUMADI makam tersebut dahulu bernama MBAH SORGI sebelum makan tersebut di buka oleh Mbah MuhamMadun setelah makam tersebut di buka oleh Mbah muhammaddun pondowan baru nama syekh Abdul Rozak Muhammad abdullah ini muncul.


~Mbah Dul Rozak, demikian masyarakat di desa Jembul Wunut dan Desa Ngablak sering menyebutnya, Abdul Rozak Muhammad Abdullah menurut Mbah suwono sebagai sesepuh desa jembul wunut yang paling di tuakan yang sampai sekarang masih hidup dan beliu mbah suwono adalah berasal dari desa ngablak menikah dengan warga desa jembul wunut dan menetab di desa jembul menurut dari penuturan beliu dan menurut dari penuturan sesepuh warga desa ngablak tidak lain adalah penulis dari babad ngablak mbah suwono dan penulis babad ngablak ini menuturkan bahwasanya ABDUL ROZAK MUHAMMAD ABDULLAH masyarakat desa jembul dan desa ngablak menyebutnya, beliau berasal dari Bejagung Tuban Jawa Timur, yang konon masih mempunyai garis keturunan dengan Raden Khasan atau Raden Patah Sutan Demak bintoro I entah dari garis ibu siapa belum ada atau di temukannya catatan yang menerangkan dari silsilah beliu dalam buku pustaka darah agung karya raden darmowasito kudus terbitan tahun 1937 sama sekali tidak ada keterangan mengenai sosok dari mbah abdul rozaq ini. padahal dalam buku postoko darah agung di situ tertulis gamblang nama nama wali atau pengede pengede pati, sejarah dari mbah abdul rozaq ini hanya bersumber dari cerita tutur dari desa ngablak dan desa jembul wunut sendiri menurut dari cerita tutur yang dapat saya rangkum dari kedua sumber, sumber dari desa ngablak dan sumber cerita tutur dari desa jembul ke dua sumber tersebut mencoba saya sincronkan semua sama dari keterangan ke dua sumber ini mbah abdul rozaq beliu dari daerah asalnya mejagung jawa timur hendak menuju Demak Bintoro, sesampai di wilayah Kemaguhan sekarang Kropak beliau singgah dan menetap di Kropak hampir sepertiga dari hidupnya. kemudian beliu melanjutkan perjalanannya sampai di sekitan bumi pati utara.


Di kisahkan beliau berkeinginan untuk berguru kepada Syech Jangkung, tapi oleh Syech Jangkung disarankan untuk berguru kepada ayah handanya yaitu Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan. Setelah melalui perjuangan yang berat akhirnya Abdul Rozak menemukan padepokan Ki Ageng Kiringan atau Syech Abdullah Asyiq di Dusun Kiringan-Punden Rejo.Namun Rozak tidak langsung di terima sebagai murid, untuk sementara diterima sebagai abdi membantu pekerjaan sehari-hari. Meskipun sebagai abdi, Rozak menerima pekerjaan tersebut dengan ikhlas, sehingga akhirnya Rozak diterima sebagai murid Ki Ageng Kiringan.
Suatu ketika Ki Ageng Kiringan memerintahkan Rozak untuk membuat sumur, walaupun saat itu musim kemarau, pada tengah malam beliau berdo’a bermunajat dan mendekatkan diri dengan tuhan agar apa yang dikerjakan mendapat ridho Allah SWT. Pada malam itu juga beliau keluar rumah serta memanjatkan do’a sekaligus menghentakkan kaki tiga kali.
Bersamaan itu juga sudah menjadi lubang sumur, akan tetapi belum keluar sumber airnya., sampai pagi harinya Ki Ageng Kiringan menemukan Rozak duduk bersila disamping sumur buatannya, sambil tetap berdo’a kepada Allah SWT.

Tiba tiba beliau mengambil keranjang yang ada dirumah gurunya, untuk mengambil air dengan keranjang tersebut ke sungai. Keranjang tersebut seperti timba saja, air yg diambil Rozak dari sungai dimasukkan ke sumur, yang akhirnya muncul sumber air di sumur tersebut.
Ada kemungkinan sumur yang dibuat oleh Mbah Rozak adalah sumur yang saat ini ada di dalam kompleks masjid Kiringan, yang airnya tidak pernah kering meskipun musim kemarau panjang.
Berkat ketekunannya, Ki Ageng Kiringan menjadikan Abdul Rozak sebagai murid kesayangan dan mengawinkan dengan seorang wanita bernama Ni Tambi, dan Abdul Rozak diberi tanah disebelah barat Kiringan atau yang sekarang disebut dukuh Kesambi.

Namun kebiasaan Abdul Rozak di Kropak tak bisa begitu saja beliu tinggalkan. Seni tayub masih menjadi kegemarannya, maka suatu ketika beliau datang ke Desa Giling memenuhi undangan Ki gede giling untuk bergabung disana. Arak pun sempat diminumnya sehingga beliau mabuk sampai esuk harinya masih ada di desa Giling. Karena beliau tidak bisa berjalan , maka beliau membuat sayembara pada siapa saja yang mampu menggendongnya maka akan diberi hadiah berupa tanah pelintahan yang ada di Ngablak. Dengan hadiah tersebut sudah banyak orang yang berusaha menggendong beliau, namun tidak ada satu orangpun yang mampu, sehingga datanglah seorang yang dianggap danyang Giling yang bernama KI DROMO WONGSO. Ki Danyang ini yang sanggup menggendong Abdul Rozak sampai Ngablak dan berhak atas tanah pelintahan tersebut.



kompleks pemakaman Gedong Tenggah




Pada suatu ketika Abdul Rozak menderita sakit, sampai tidak terasa sebelah kakinya terluka dan mengeluarkan nanah karena terlalu lama berbaring ditempat tidur tidak bisa jalan.
Setelah beliau dapat berjalan berganti penyakit yang dideritanya, yang semua keluar nanah kemudian menjadi borok yang semakin parah,sampai sampai beliau mengeluarkan ultimatum atau sabda “ Bagi siapa saja yang masih keturunan Ngablak, akan terlaknat bila minum arak”.
Pernah diceritakan setelah Rozak mengeluarkan ultimatum tersebut ada seseorang yang kebetulan melewati Ngablak hendak menjual arak, sesampai di wilayah Abdul Rozak, maka botol botol arak tersebut meledak semua.

Pada suatu saat Rozak akan membersihkan borok pada kakinya di sungai, namun aliran sungai tersebut mengalir di hilir yang biasa dipakai untuk berwudlu Ki Ageng Kiringan. Karena menimbulkan bau yg kurang sedap pada air yang mengalir, maka Ki Ageng Kiringan menyarankan agar Abdul Rozak membersihkan boroknya di dekat pohon Bendo yang katon (kelihatan), dan kelak dinamakan desa Bendokaton. sungainya masih satu arah melewati Bangkol,Kiringan serta Tayu. Sehingga sangat menggangu aktivitas Ki Ageng Kiringan beserta murid-muridnya. Maka diutuslah salah satu murid untuk menemui Abdul Rozak agar Rozak mencuci boroknya di selatan desa Ngablak, yakni di daerah sungai kecil yang sekarang menjadi sungai kembang atau masyarakat sekitar menyebutnya "kalen kembang" yang waktu itu masih termasuk wilayah Ngablak.

Akhirnya dengan susah payah Abdul Rozak menuju tempat tersebut dengan bantuan isterinya. Dan beliau berhenti di sebuah sungai kecil atau "Kalen" orang Jawa menyebutnya untuk membersihkan boroknya yang sudah mulai berdarah. Namun anehnya bau air yang dipakai untuk membersihakan borok tersebut baunya menjadi harum mewangi , maka oleh Abdul Rozak tempat tersebut dinamakan “Kalen Kembang”. sumber air kalen tersebut berada di bawahnya makam mbah abdul Rozak dan hingga kini kalen itu masih ada dan airnya digunakan untuk mengairi sawah-sawah warga desa jembul wunut setempat.
Namun Sakit yang diderita Abdul Rozak rupanya dibawa sampai beliau wafat, pada hari Ahad Wage bulan Dzul Qoidah beliau kembali pulang keharibaan Allah SWT untuk selamanya. Oleh karenanya bagi penduduk Jembul bila terserang borok pada kakinya besar kemungkinan ajalnya dekat . Hal ini kemungkinan bila si penderita mengindap diabetes, atau sering disebut borok RITI. "Marine yen Mati" atau sembuhnya kalau sudah meninggal.

Tidak berselang lama Ni Tambi menyusul sang suami pulang ke Rahmatullah , keduanya dimakamkan di Dukuh GOSARI secara berdampingan. Sampai sekarang banyak para peziarah dari luar daerah yang datang untuk bertawasul dimakam Mbah Rozak. Biasanya para peziarah banyak yang datang pada bulan Dzul Qoidah hari Ahad Wage karena pada hari tersebut diadakan Hajatan Besar atau "SEDEKAH BUMI", selain itu nama Abdul Rozak juga di gunakan sebagai nama Masjid di desa Jembul Wunut yang bertujuan untuk mengenang sosok seseorang yang pertama kali membabad kawasan hutan yang dulunya banyak pohon serutnya.Dan di setiap acara sedakah bumi banyak sekali orang yang ingin mendapatkan berkah dan tentunya tidak hanya warga jembul wunut saja melainkan dari berbagi luar desa mereka biasanya menginab satu malam dalam area kompleks pemakaman pagi harinya di adakah tahlillan masal secara bersamaan bersama warga desa jembul wunut,



potret bebrapa warga desa jembul wunut 



Warga desa jembul wunut yang pertama kali menjadi juru kunci makam Gosari adalah bernama mbah RAU. Pada sekitar tahun 1901 penduduk desa Jembul mengadakan kerja bhakti untuk mengganti cungkup makam yang sudah rusak. Ada salah satu diantara penduduk yang hendak membakar sampah bekas atap atap daun rumbia. Tidak disangka sangka api menjalar sampai ke cungkup yang mengakibatkan kebakaran tidak bisa dihindari.

Semua terlalap api dan hanya pintunya saja yang tidak terbakar, disaksikan oleh warga, pintu yang sedianya akan roboh karena tidak punya penyangga lagi tiba-tiba terbang terbawa angin, menuju kearah timur dan jatuh kurang lebih 2 Km di sebelah timur makam. Maka tempat yang kejatuhan pintu makam yang terbakar tersebut dinamakan dukuh Ng Lawang 

Pada tahun 1990 makam Gosari mengalami pemugaran lagi dengan swadaya masyarakat dan uang dari kas amal.
Setelah pembangunannya berjalan ternyata tanpa terpikir dana yang dikeluarkan habis, sehingga pembangunan makam terpaksa dihentikan dan untuk nisan terpaksan ditiadakan.
Akan tetapi pagi harinya, ketika para tukang batu hendak mengemasi peralatannya untuk pulang, tiba tiba sudah ada dua buah nisan terbungkus kain kafan dalam keadaan masih baru, sehingga masyarakat yang ikut kerja disitu banyak yang mempertanyakan, dari mana asal benda tersebut dan siapa yang menaruhnya dalam waktu yang relative singkat sudah ada disitu?? Aneh...? Atau kah ada salah satu warga desa jembul yang mendonasikan batu nisan untuk makam beliu dan sengaja di pasang tengah malam supaya tidak ada warga yang mengetahui....? Entahlah... jangan la di kaitkan dengan sesuatu yang mistik atau spiritual.

Berdasarkan tutur tinular serta dikuatkan dengan obyek peninggalan yang ada, maka hipotesa penulis menyatakan bahwa pendiri cikal bakal Desa Ngablak kecamatan cluwak dan desa jembul wunut kecamatan gunung wungkal adalah orang yang punya sebutan Ki Gede Watu Bangko Ki Trenggulunan, Ki Gede Watang, Ki Gede Gender yang di suruh berpindah dari Watu Bangko Trenggulunan oleh Ki Gede Kiringan di Dukuh Gosari Desa Jembulwunut kecamatan Gunungwungkal sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di pemakaman dukuh gosari yang sekarang makam itu sudah dibangun yang di pintu makamnya bertuliskan “MAKAM WALI ABDUL ROZAQ. Jadi pendiri Desa Ngablak adalah orang yang makamnya ada di Gosari, Jembul wunut kecamatan gunung wungkal

simbolis bertapa tanpa busana mendekatkan diri denggan tuhan dengan melepaskan semua yang berbau kedunaiwian

~Sejarah mengenai asal usul dari syekh kudo negoero syekh sutowancono syekh kudo panoleh dan syekh mantri, yang pernah di telusuri oleh tim hari jadi kota pati sampai saya kembali merevisi sejarah desa ini yang sebelumnya sudah pernah di tulis oleh bapak Drs Suyadi yang sampai sekarang menjadi perangkat desa jembul wunut belum lagi saya mendapatkan sumber secara ilmiyahnya mengenai sejarah dan asal usulnya bahkan mbah suwono yang sebagai sesepuh desa jembul wunut tidak tahu menau mengenai asal usul beliu mbah suwono hanya berpendapat bahwa syekh kudo negoero tidak lain adalah seorang pahlawan pati atau telik sandi semasa kesultanan mataram islam sedangkan mbah sutowancono beliu adalah seorang panglima perang semasa pati beradipati wasis wijayakusuma, yang pada waktu itu kadipaten pati di masa kepemimpinan Wasis Wijoyo Kusuma mengempur kesultanan mataram islam, hal ini terjadi di saat pati berperang melawan mataram islam semasa Mataram Islam beraja Sultan agung hanyongkrowati. ,di sini lah sosok dari mbah kudo negoro, mbah suto wancono dan mbah kudo panoleh. tiada yang lain hanya beliu beliu lah yang kemungkinan besar orang orang yang di suruh oleh kesultanan mataram untuk meredam amarah pribumi pati utara semasa pertempuran kadipaten pati dengan kesultanan mataram islam yang terjadi pada kisaran tahun 1500-1600san M.

  Sedangkan mbah mantri adalah sosok juru mantri, Dan menurut mbah sueb mbah kudo panoleh adalah teman atau kerabat dekatnya mbah kudo negoro, mbah kudo negoro dan mbah kudo panoleh inilah saya mensinyalirnya seorang telik sandi yang di kirim mataram islam untuk meredam amarah pribumi pati utara di saat pribumi pati berperang melawam kesultanan mataram di bawah kekuasaan sultan agung hangyomgkrowati semasa Kadipaten pati beradipati Wasis wijoyokusumo, maka dari itu sanggat kesulitan sekali mengali sejarah dari latar belakang beliu sayogyanya seorang telik sandi pasti merahasiakan namanya sendiri dan pastinya namanya di samarkan atau di rahasiakan, dan tentunya mbah kudo negoro mbah panoleh mbah mantri dan mbah suto wancono ini bukanlah nama asli. cukup bagi kita warga desa jembul wunut untuk menjaga melestarikan menguri uri budaya dan sejarahnya dan menjadi sebuah arsib desa yang nantinya bisa di baca di fahami untuk kelak anak cucu kita terkhusus warga desa jembul wunut.

Sejarah dari Mbah Kudo Negoro, Mbah kudopanoleh Mbah sutowancono,  dan Mbah mantri, sampai sejauh ini belum ada lagi sumber secara ilmiyah yang ada hanya cerita tutur dari sesepuh desa. 

Makam syekh Kudo Negoro gedong tengah sudah beberapa kali di pugar oleh masyarakat desa jembul wunut setempat juru kunci makam gedong tengah (komplek pemakaman Mbah Kudo negoro) pada tahun 1988 beliu bernama 
Mbah parto rasiman. Kemudian di pegang oleh Mbah sawi kromo, Mbah Rasmi (Mbah Ireng) 
Mbah jasmin sampai sekarang dan di bantu oleh Bapak sarwan. 

Mbah kudopanoleh.. 
Makam beliu berada di dalam (kompleks ndalam) makam Mbah Kudo Negoro berada di sebelah dalam cungkup sebelah barat laut tepat di bawah pondasi dari bangunan cukup makam Mbah Kudo Negoro batu nisannya di simpan di dalam cungkup (ndalem) karna pada saat awal dari pembangunan cukup makam Mbah kudonegoro batu nisan makam Mbah kudopanoleh di cabut karna dalam pengalian pondasi bangunan cungkup melintasi makam Mbah Kudo panoleh sampai sekarang batu nisan dari Mbah kudopanoleh masih tersimpan rapi di dalam kompleks ndalem cungkup Mbah kudonegoro

Mbah mantri atau Mbah juru mantri. 
Makam beliu berada di komplek luar dari pemakaman Mbah kudonegoro tepat di sebelah setalan dari makamnya Mbah kudonegoro dan Mbah kudo panoleh.
Pada tahun 1999 makam Mbah mantri ini belum di kasih cungkup dan hanya berupa makam tua dan berbatu nisan batu cadas biasa, tahun berganti tahun lama kelamaan makam tersebut di beri sebuah cungkup dari warga sekitar sampai sekarang.

Mbah sutowancono (makam gedong Ndadah).
Makam keramat yang berada di sebelah pekarangan rumah warga desa jembul wunut RT 2 RW 1 tepat di belakang rumahnya Mbah kemad langgeng.  
Pada sekitaran tahun 1997 makam ini hanya bertutup kain kafan biasa dan tidak ada bagunan cungkupnya dan batu nisannya sudah lapuk di kikis oleh lapuknya zaman baru di sekitaran tahun 2000an makam Mbah sutowancono ini di pugar, juru kunci makam Mbah sutowancono gedong Ndadah pertama kali di pegang oleh Mbah patmo semen, dan di teruskan oleh Mbah sueb di bantu oleh Mbah kemad langgeng sampai sekarang.


Link di bawah ini adalah silsilah dari Wasis wijoyokusumo yang masih berdarah dari kerajaan Majapahit dari trahnya indu Dwi atau bhre Lasem rembang
   


Demikian mengenai sejarah babad desa jembul wunut yang dapat di rangkum dan di tulis ulang kembali semoga menjadi sebuah arsip desa dan tidak harus hilang entah kemana, dan kelak anak cucu kita generasi yang akan datang bisa membacanya bisa mengenal dan mencintai desanya dengan cara mengetahui dan mengali sejarah sejarahnya dan bisa di interprestasikan, seiring perkembangan zaman desa jembul wunut mengalami kemajuan dari sector pertanian, perdagangan, usaha rumahhan, dan menjadi desa yang produktif. Penduduk desa kebayakan berprofesi sebagai petani, perantau, pedangan, dan karyawan swasta, Pada sekitaran tahun 1840an tentunya sebelum kemerdekaan pengede atau pemimpin petinggi desa pertama kali desa jembul wunut adalah bernama Mbah wiro dipo makam beliu berada di kompleks pemakaman umum desa jembul wunut dan kemudian pemimpinan desa jembul wunut di terus kan sampai sekarang.

Daftar nama nama petinggi desa yang dapat penulis rangkum di antaranya adalah sebagai berikut:.
1.       Mbah Wiro Dipo memerintah padai tahun 1840-1887.M
2.       Mbah Jebres memerintah pada tahun 1891-1892,  M
3.       Mbah Tumpak memerintah pada tahun 1892-1896.M
4.       Mbah Trunojoya memerintah pada tahun 1896-1902.M
5.       Mbah Astro Karijah memerintah pada tahun 1902-1906. M
6.       Mbah Kromo Rasiah dari dukuh Gosari memerintah pada tahun 1906-1910 M
7.       Mbah Reso Sarman dari dukuh Gosari memerintah pada tahun 1910-1916 M
8.       Mbah Sinung dari dukuh Gosari memerintah pada tahun 1916-1918 M
9.       Mbah Reno Joyo Karman memerintah pada tahun 1918-1945 M
10.   Mbah Kiyai H Abdullah Khanan memerintah pada tahun 1945-1975 M
11.   Mbah Kiyai H Abdullah Hafid memerintah pada tahun 1975-1988 M
12.   Bapak Suroso memerintah pada tahun 1988-2008 M
13.   Bapak Hadi Prabowo memerintah pada tahun 2008-2013 M
14.   Ibu Sri Dwi (istri bapak suroso) memerintah awal tahun 2013-sampai sekarang.
  
~Sejarah desa jembul wunut yang di tulis oleh tim hari jadi kota pati mengisahkan seorang pelarian dari ki dalang sopoyono dan Rayung wulan sampai di desa bulanjam dan sampai berhenti di desa jembul wunut hal ini perlu di kaji lebih dalam dan di pertanyakan kevalidtannya mengingat sejarah yang bersumber dari babad pati ini menurut pengiat sejarah di pati. babad pati di ragukan kevalidtanya, karna dalam babad pati sendiri karya yang penuh dengan cerita legenda, 

   ~Sosro Soemarto dan Dibyo Sudiroe tidak lain adalah orang yang menulis Babad Pati pada tahun 1925 dan akhirnya sosro soemarto dan dipyo sudiro harus di eksekusi di tembak mati oleh pihak belanda kenapa demikian ada apa semua di balik penulisan dari Babad Pati ini sendiri..? Apakah di balik semua penulisan babad ini tidak ada kejujuran dan penuh dengan cerita fiksi belaka...? Pada dasarnya penulisan dari Babad tanah jawa dan Babad Pati ini sendiri di belakangnya ada sosok belanda dan peperangan pribumi pati dengan kesultanan Mataram Islam di menangkan mataram Islam dan sejarah di tulis oleh sang pemenang, kita sudah tahu sendiri peperangan pati dan mataram di menangankan oleh mataram pada masa itu pasukan pribumi pati berhasil di pukul mundur oleh pasukan mataram islam. Dan pada dasarnya bumi pati ini bukan lah hasil menangnya sayembara yang di menangkan oleh Ki Panjawi karna mas karebet berbahasil membunuh Arya Penangsang. Ini hanya sebuah cerita yang bersumber dari babad tanah jawi dan kemudian cerita ini di angakat kembali dalam serial budaya kesenian ketoprak yang ada di bumi pati. 

  Fakta sejarah yang sanggat mengejutkan di saat makam Arya Penangsang di temukan di pulau Sumatra sungai organ ilir Pada dasarnya Arya Penangsang tidak terbunuh oleh joko tingkir dengan tombak kiyai pleret milik joko tingkir ini hanya sebuah cerita kiasan saja, dan Arya Penangsang di Sumatra terkenal dengan nama Raden kuning, bahkahkan joko tingkir atau mas kareber ini dari garis ibunya menurut catatan kantor tepas yogyakarta beliu masih berdarah dari mbah sumowirang i ing pati, beliu arya penangsang mengungsi ke sungai organ ilir sumatra selatan untuk menempati wilayah leluhurnya atas perintah sunan kudus pada masa peralihan kekuasaan Demak ke pajang, Arya Penangsang di sana terkenal dengan sebutan Raden Sariman atau Raden Kuning

Di bawah ini adalah biografi singkat Raden Sariman atau Raden Kuning atau yang kita kenal dalam babad tanah Jawi di sebut Arya Penangsang anak dari Raden kikin penguasa daerah jipang panolang blora.


Terkait dengan sejarah desa desa di sekitaran lereng gunung Muria, desa desa di sekitaran lereng gunung muria ini sudah ada semasa kejayaan Mataram i poh pitu pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah balitung yang memerintah pada tahun 898 M, sebelum Mataram kuno di pindah oleh empu sendok ke Jawa timur dan tentunya jauh sebelum adanya kerajaan Majapahit yang harum namanya semasa Raden Wijaya dan Hayam Wuruk berjaya menguasai bumi Nusantara. desa desa di sekiran lereng gunung muria ini sudah lama ada, dan tertulis dalam dua prasasti, prasasti rongkab dan prasasti wihara i winandaik, prasasti rongkab di temukan di daerah Pati selatan dekat dengan daerah sukolilo prawata, dan prasasti wihara i winandaik di temukan di lereng gunung pangonan yang menemukan adalah bapak magi warga desa tempor, dukuh tong, kab Jepara, sewaktu beliu mengarab lahan perkebunan di sekitaran desa pangonan. Dan kemudian prasasti tersebut di simpan oleh bapak jai warga desa payak ( belakang pasar Bambang) dan di buatkan miniatur candi di depan rumahnya sampai sekarang.


miniatur candi di depan rumah pak jai


Desa desa yang tertulis dalam kedua prasasti tersebut antara lain

Desa kukab, desa turai, desa sdeh, desa waryang, desa Tĕrĕnĕḥ, desa rawawu, desa rongkab, desa pandamuan desa miramirah, desa turayun, desa Pamilihan, desa gammah, desa sabokan, desa pandamuan, desa halantanan, desa Ra tguh, desa wugu, desa lulahan, desa tanga wunkal, dan yang terakhir desa luwakan.

Dari daftar 19 desa desa di masa kerajaan Mataram i poh pitu ada sedikit kesamaan desa di masa sekarang di antaranya desa rawawu yang sekarang menjadi desa rahtawu, desa tangawunkal yang sekarang menjadi desa gunung wungkal, desa luwakan yang sekarang menjadi desa cluwak. Hepotesa ini berdasarkan dari dua sumber prasasti rongkab dan prasasti wihara i winandaik yang di temukan tidak jauh di sekitaran lereng gunung Muria. Adanya desa desa yang tertulis dalam ke dua prasasti tersebut dan sampai sekarang di mana keberadaan desa desa tersebut,,,,,, ?

mulai dari masa peralihan mataram I poh pitu sampai dengan dinasti isyana empu seddok, Rangga rajasa dan sampai ke dinasti Girindra raja majapait di sini ada penumpukan beberapa zaman, zaman matam kuno, zaman singashari, dan zaman majapahit. Ada kemungkinan desa desa yang ada tertulis dalam ke dua prasasti itu hilang lenyab atau desa tersebut sudah di tinggalkan penduduknya dan berpindah ke tempat yang lain, Hal ini di perkuat dengan di temukannya lumpang batu yang berada di desa pangonan.




miniatur candi depan rumah pak jai payak bambang.


bukti prasasti WIHARA I WUNANDAIK Yang di simpan pak jaik desa payak


Link di bawah prasasti rongkab

Link di bawah ini prasasti wihara i winandaik


Hasil dari penganalisa dari penulis ini masih bisa di tulis ulang dan di rubah kembali jika di temukan sebuah sumber data sekunder dan primer terkait sejarah desa desa di sekitaran lereng gunung muria terkhusus sejarah desa jembul wunut sendiri. Inisiatip penulis menulis ulang sejarah jembul wunut ini tiada lain hanya ingin menjaga arsib desa supaya tidak hilang entah kemana dan bila bila masa ada salah satu warga desa yang mempertanyakan mengenai sejarah desa bisa di baca dan tentunya sejarah desa itu tidak akan hilang semua warga desa jembul wunut bisa membaca dan memahaminya sebagai bukti kecintaanya dengan desa tanah kelahirannya

KETERANGAN
Sejarah desa jembul wunut sebelumnya sudah pernah di tulis dan di bukukan oleh bapak Drs suyadi dan di tulis ulang oleh putra desa jembul wunut, bedasarkan cerita turun temurun dan wawancara dengan para narasumber, Dan sejarah yang di tulis oleh tim hari jadi kota pati itu perlu di kaji dan di teliti ulang supaya tidak menjadi sebuah penyesatan sejarah. Bangkitlah dari masyarakat yang selalu terdoktrin dengan cerita sejarah yang bersumber dari budaya ketroprak di bumi pati, kethoprak di bumi pati ini hanya sebuah kesenian tradisional yang berasal dari solo dan di bawa oleh sutradara kethoprak ke bumi pati.sekali lagi budaya kethoprak hanya kesenian bukan sumber sejarah, dan itulah khasanah budaya di kabupaten pati.   

CATATAN KAKI
Sumber ke dua prasasti Rilis dari hasil analisa balai arkeologi Jogjakarta yang bekerja sama dengan Balai Arkeologi Nasional pusat jakata . yang penulis dapatkan dari teman teman yayasan arga kencana Pati. Alhamdhulillah setelah saya terlusuri ulang dan saya gali kembali sejarah babad desa jembul wunut selesai saya tulis ulang kembali pada tanggal 11 Ramadhan 2020, Harapan penulis semoga hasil dari penulisan ulang sejarah desa jembul wunut ini menjadi interprestasi karna sejarah adalah interprestasi dan bukan sains, salam jas merah jangan sekali kali melupakan sejarah bangsamu. Cintai desa kelahiranmu dengan cara kamu mengenal dan mempelajari sejarah sejarahnya, Janggan sampai sejarah desa hilang dan janggan sampai sejarah desa menjadi penyesatan sejarah Dan tetap lah menjadi warga desa jembul wunut yang produktif sama sama bangun dari keterpurukan penuh denggan semangat BERSAMA SAMA PASTI KITA BISA.




TAMAT