Menguak sejarah Pati (juga Mataram) tak dapat begitu saja
melupakan sejarah Ngerang dan Pesantenan,sebab dari sanalah mereka berawal.
Dibanding sejarah Ngerang datanya lebih mencukupi(meskipun perlu digali lebih
dalam lagi),untuk Pesantenan datanya lebih minim,dan Cuma bersumber dari serat
Babad Pati.
Dalam Babad Tanah Jawa sebagai babon sejarah Jawa,sama
sekali tak ada tertulis nama Pesantenan sebagai Kadipaten. Bahkan sejarawan
Belanda, diantaranya; DR.HJ De Graff sebagai pakar sejarah jawa sama sekali tak
pernah menyinggung Pesantenan dan Kembangjoyo sebagai adipati dalam beberapa
bukunya. Tapi oleh masyarakat Pati keberadaan Pesantenan dan Kembangjoyo sangat
diyakini ada,meskipun tak tercatat dalam sejarah manapun,kecuali dalam serat
Babad Pati. Sehingga oleh Tim Penyusun Hari Jadi Pati,Serat Babad Pati lah
satu-satunya yang digunkan sebagai rujukan awal untuk menulis sejarah
berdirinya Pati.
8
Sehingga dalam perkembangan perjalanannya menuai pro dan kontra
di antara masyarakat Pati. Persoalan inilah yang seharunya diklarifikasi lebih
dulu.
Untuk meluruskan sejarah Pati sesuai dengan kronologi
sejarah Nasional,haruslah lewat penelitian yang akurat,sebelum membedah sejarah
Pati lebih lanjut secara keseluruhan. Selama ini masyarakat Pati mengenal
sejarahnya hanya melalui media hiburan Kethoprak saja.
PASEMON DALAM BABAD
Cerita dalam babad sebenarnya tak bisa begitu saja ditelan
sebagai fakta sejarah. Begitu juga dengan cerita lakon ketoprak. Cerita versi babad
dan ketoprak hanya bisa digunakan sebagai salah satu referensi awal. Kemudian
diuji kebenarannya dengan membandingkan sumber data sejarah yang lain. Karena
dalam cerita babad banyak dibungkus dengan PASEMON baik sebagian maupun secara
utuh dalam menulis maupun mengkisahkan.
Persoalannya dibalik pasemon- pasemon itu tersimpan hal yang
dianggap tabu,atau sesuatu yang sarat dengan kepentingan politis penguasa saat
itu. Semisal Serat Damar Wulan,yang mengisahkan Menak Jinggo raja Blambangan
yang ingin mempersunting Kencono Wungu Ratu Majapahit. Lalu munculah Damar
Wulan sebagai penyelamat,dan kemudian mempersunting sang ratu.
Pada kenyataannya cerita ini adalah pasemon politis dengan
terkandung maksud tokoh Minak Jinggo yang buruk rupa sebagai penggambaran raja
Blambangan Bhre Wirabumi putra Hayam Wuruk yang brontak menuntut tahta
Majapahit dalam perang Paregreg. Sedangkan kencono Wungu adalah Dyah Suhita
ratu Majapahit permaisuri Bhre Parameswara yang digambarkan sebagai Damar Wulan
sang Pahlawan.
Dongeng tersebut hanyalah sebuah cerita rekayasa Mataram
ketika hendak menguasai Jawa Timur, khususnya Blambangan sebagai kerajaan Hindu
terakhir yang sulit untuk ditaklukan.
Untuk itulah Mataram
lalu merancang perang psikologis dengan menceritakan serat Damar Wulan. Maka
luka lama sejarah Majapahit dalam perang Paregreg dibuka kembali. Konflik masa lalu diantara trah Majapahit di
dramatisir dalam dongong Serat Damar Wulan. Wirabumi yang dikultuskan oleh
rakyat Blambangan dijatuhkan martabatnya dalam dongeng tersebut. Tujuannya
adalah untuk mengadu domba dan memecah belah para keturunan atau trah Majapahit
di Jawa Timur antara pihak keraton Wetan (Blambangan) dengan keraton Kulon
(Kahuripan/Trowulan)
PERSAMAAN CERITA SERAT DAMAR WULAN DENGAN CERITA
KEMBANGJOYO
Marilah kita cermati kisah Damar Wulan dengan cerita
perseteruan Kembangjoyo dengan Menak Josari sebagai putra mahkota Parang
Garuda. Menak Josari ingin mempersunting Rayung Wulan putri Charangsoka. Lalu
munculah Kembangjoyo sebagai pahlawan yang kemudian mempersunting sang putri
Carangsoko. Disinilah terjadi peperangan antara Parang Garuda dengan Carangsoka
di daerah Kendeng wilayah Muria.
Kemiripan cerita inilah yang agaknya dipakai strategi
politik untuk mengadu domba antara trah Majapahit yang tinggal di wilayah
Kendeng dengan yang tinggal diwilayah lereng Muria. Demikian juga yang
terisirat dalam kisah “Rebutan Gapuro Majapahit” tak lebih hanya untuk mengadu
domba trah Majapahit di Ngerang (Juwana) dengan Muria (Pati). Jelaslah dongeng
dongeng ini diciptakan Mataram yang didukung oleh Belanda untuk menguasai bumi
Kendeng dan Muria dimasa itu.
Tentulah dimasa lalu pernah terjadi gejolak politik dalam
perebutan kekuasaan diantara para pembesar di wilayah Kendeng dan Muria. Hanya
saja baik dalam cerita tutur,babad dan kethoprak,konflik politik yang
sebetulnya telah dibungkus dalam pasemon pasemon soal wanita saja. Masyarakat
pati dibutakan dengan persoalan politik yang sebenarnya terjadi, dan cukup
dibuai dengan dongeng – dongeng romantis.
Yang menjadi persoalan saat ini, siapakah tokoh politik yang
dikaburkan jejeak sejarahnya dengan nama Kembangjoyo itu,seperti halnya Damar
Wulan? Demikian juga dengan Menak Josari yang dicitrakan buruk rupa sama
seperti Minak Jingga? Lantas apakah negeri pesantenan hanyalah ilusi semata
dalam dongeng?
PESANTENAN DI ERA PAJAJARAN
Memang dalam babad Pati ditulis Kembangjoyo sebagai adipati
Pesantenan pada saat Pajajaran runtuh dengan Siung Wanara sebagai Rajanya.
Kemudian kerajaan di tanah Jawa pindah ke Majapahit yang didirikan oleh Jaka
Suruh. Demikian juga tertulis dalam Babad Tanah Jawa sebagai babonan sejarah
Jawa, bahwa Majapahit berdiri setelah Pajajaran runtuh.
Oleh beberapa pakar sejarah telah disepakati bahwa yang
dimaksud Jaka Suruh adalah Raden Wijaya pendiri Majapahit di tahun 1293 M,tapi
setelah Singasari dengan Kertanegara sebagai Rajanya jatuh. Anak SD pun tahu
soal ini dari buku Sejarah Nasioanal. Anehnya Babad Tanah Jawi dan Babad Pati
sama sekali tak menuliskan sejarah Singasari dengan Ken Dedes dan Ken Arok
sebagai rajanya sebelum Majapahit berdiri.
Agaknya penulis Babad Tanah Jawa yang diikuti oleh penulis
Babad Pati sengaja menghapus sejarah Ken Arok yang asalnya Perampok dari Padang
Karautan menurut Serat Pararton. Lantas Singasari diganti sejarahnya dengan
Pajajaran yang Siyung Wanara sebagai rajanya.
Padahal menurut info dari tanah Pasundan dimana siyung
Wanara berasal,tertulis didalam sastra Sunda klasik”Carita Parahiyangan” bahwa
Ciung Wanara(dalam sastra jawa ditulis “Siung Wanara “) adalah raja Galuh
Karang Kamulyan bernama “Manarah”,tahun 739-783M,semasa dengan Sanjaya pendiri
Mataram Hindu. Dan barulah 5 abad kemudian berdiri Majapahit. Sementara
Pajajaran didirikan oleh Prabu Siliwangi pada tahun 1482-1521 M,semasa surutnya
Majapahit dan bangkitnya kasultanan Demak. Inilah kerancuan kronologis yang
terdapat dalam semua naskah sejarah Jawa yang bersumber dari buku Babad Tanah
Jawa. Sehingga mengakibatkan Tim Penyusun Sejarah Pati menyesuaikan kronologi
tersebut sebagai jejak awal dalam penentuan keberadaan Hari Jadi Pati.
PESANTENAN DI ERA DEMAK
Lepas dari kerancuan cerita babad yang sudah terkontaminasi
kepentingan politik penguasa pada zamannya, justru dalam cerita tutur yang
kemudian dipentaskan dalam panggung kethoprak,keberadaan Kembangjoyo
mengindikasikan hidup diatara era surutnya kerajaan Majapahit dan kebangkitan
kasultanan Demak. Dituturkan ketika terjadi Ontran-ontran di Majapahit,ada
beberapa pelarian Majapahit yang menyelamatkan diri ke wilayah Pati.
Diantaranya ada yang mengungsi diwilayah gunung Panti di desa Goda, dan ada
yang nyasar sampai di desa Bakaran.
Tersebutlah dalam legenda desa Bakaran,ada seorang putri
pelarian dari Majapahit dengan nama Nyai Banowati yang berganti nama menjadi
Nyai Sabirah. Dia mempunyai keponakan yang bernama Soponyono berprofesi sebagai
dalang. Dia adalah putra dari dalang bernama Ki Bicak dari Majapahit yang
kemudian menjadi terkenal di daerah Demak. Dalam babad Tanah Jawa dikabarkan
bahawa Ki Dalang Bicak dibunuh oleh ki Ageng Selo yang menghendaki Nyai Bicak
untuk diperistri. Sementara ada sumber lain yang menyebutkan bahwa nyai Bicak
adalah putri dari nyai Ageng Ngeran I(Roro Kasihan). Dalam Sililsilah Pangiwo dan Silsilah
Panengen( Keraton Mangkunegaran) memang tertulis bahwa istri ki Ageng Selo
adalah anak Nyai Ageng Ngerang I. Dalam cerita tutur Nyai ageng Ngerang disebut
Roro Kinasih.
Kemudian dalam Babad Pati jelas ditulis bahwa ki dalang
Soponyono adalah sahabat Kembangjoyo,bahkan Ambarwati adiknya Soponyono jadi
istri Kembangjoyo. Ketika Kembangjoyo jadi adipati Pesantenan , menurut cerita
kethoprak, Soponyono di jadikan patih Pesantenan dengan sebutan Singosari.
Sayangnya dalam babad Pati tak tertulis siapa orang Tua Kembangjoyo. Tentunya
sebagai seorang adipati sebesar Pesantenan yang sama wilayahnya dengan Tuban di
pesisir utara harusnya tercatat tentang silsilahnya.
Masih beruntung ada bocoran cerita, lagi-lagi versi cerita
tutur. Diceritakan bahwa Kembangjoyo diambil anak angkat oleh Cokro Joyo
adipati Tujungpuro mengganti putranya yang meninggal bernama Ronggojoyo yang
tewas karena di sambar petir bersama Roro Pujiwat (Putri Sunan Ngerang)dalam
cerita perebutan Pintu Majapahit.(Cerita Fantastis ini nampaknya perlu kita
dalami maksud dan tujuannya)
Adapun versi lain menerangkan bahwa Cokrojoyo adalah murid
dari Sunan Ngerang. Adalagi yang mengisahkan bahwa Cokrojoyo adalah Sunan
Panggung murid dari Sunan Kalijaga. Yang kemudian Cokrojoyo adalah Sunan
Geseng.
Bocoran lain tentang Kembangjoyo datang dari cerita
tutur,versi bapak Legi Saputro,bahwa Kembangjoyo adalah anak Sunan Muria yang
bernama Sahid Kusumastuti putra Sunan Katong di Kaliwungu. Sementara ada Sunan
Muria yang Lain adalah bernama Umar Said putra dari Sunan Kalijaga. Mungkin
saja pada saat itu di wilayah Muria ada dua pemimpin yang sudah kami sebutkan
tadi. Yang Umar Said wilayahnya adalah di sebelah barat gunung Muria, sementara
yang Sahid Kusumastuti bereda di wilayah sebelah timur Muria.
TENTANG SUNAN KATONG
Lebih lanjut tentang Sunan Katong di Kaliwungu. Kalau dalam
babad Kendal diberitakan bahwa Sunan Kathong tak lain adalah bathara Kathong
yang kemudian menjadi Adipati Ponorogo. Posisinya di Kaliwungu kemudian
digantikan oleh cucunya yaitu Kyai Katong. Dia adalah putra Pangeran Sabrang
lor dengan putri Ponorogo ,anak dari Bhatara Katong. Adapun pangeran Sabrang
Lor dikenal dengan nama Adipati Yunus(Pati Unus) sebagai Adipati Jepara
,sebelum menjadi sultan II Demak (1518-1521 M). Sedangkan Bhatara Katong adalah
Putra dari Hyang Purwawisesa (Brawijaya III)
Raja Majapahit (1456-1466 M)7
DUGAAN-DUGAAN DAN KESIMPULAN SEMENTARA
Dari sekian cerita turur yang kemudian disinkronkan dengan
teks dari Babad Pati,dapat diduga keberadaan Kembangjoyo adalah semasa
Kesultanan Demak dan surutnya Majapahit. Jadi bukan pada era Majapahit, apalagi
Galuh. Tetapi memang pada waktu era Pajajaran menjelang akhir kekuasaan Prabu
Siliwangi tahun 1521 M.
Pada tahun yang sama dimasa akhir dari kekuasaan Pati Unus
yang gugur melawan Portugis di Malaka. Sementara H.J. D. Graff mengutip dari
Babad Sangkalaning Memana, mencatat bahwa Kayu Bralit adalah Adipati di Pati
yang berkuasa tahun 1511-1518M. Di tahun terakhir Adipati Kayu Bralit berkuasa
tepat angka tahun dimana Pati Unus menaklukan Ranawijaya Raja Majapahit
terakihir yang beribukota di Daha. Bila silsilah yang diasampaikan oleh Legi
Saputro itu benar, maka Kembangjoyo masih kerabat Pati Unus. Maka disini timbul
pertanyaan, apakah yang dimaksud Kembangjoyo adalah nama laini Kayu
Bralit? Sementara belum kita ketahui
karena peristiwa apa kekuasaan adipati Kayu Bralit Berakhir? Secara politik
Kayu Bralit ada pada pihak Majapahit ataukah Demak? Apakah berakhirnya
kekuasaan Kayu Bralit kerana meninggal akibat peperangan Demak versus Daha pada
tahun 1518? Dan semuanya akan bisa terjawab melalui penelitian lebih lanjut.
penulis
Tim Sejarah Pati
Djoko Wahjono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar