Selasa, 05 Mei 2020

MISTERI KEMBANGJOYO HUBUNGAN KEKERABATAN PATI-MATARAM




Menguak sejarah Pati (juga Mataram) tak dapat begitu saja melupakan sejarah Ngerang dan Pesantenan,sebab dari sanalah mereka berawal. Dibanding sejarah Ngerang datanya lebih mencukupi(meskipun perlu digali lebih dalam lagi),untuk Pesantenan datanya lebih minim,dan Cuma bersumber dari serat Babad Pati.
Dalam Babad Tanah Jawa sebagai babon sejarah Jawa,sama sekali tak ada tertulis nama Pesantenan sebagai Kadipaten. Bahkan sejarawan Belanda, diantaranya; DR.HJ De Graff sebagai pakar sejarah jawa sama sekali tak pernah menyinggung Pesantenan dan Kembangjoyo sebagai adipati dalam beberapa bukunya. Tapi oleh masyarakat Pati keberadaan Pesantenan dan Kembangjoyo sangat diyakini ada,meskipun tak tercatat dalam sejarah manapun,kecuali dalam serat Babad Pati. Sehingga oleh Tim Penyusun Hari Jadi Pati,Serat Babad Pati lah satu-satunya yang digunkan sebagai rujukan awal untuk menulis sejarah berdirinya Pati.
8
Sehingga dalam perkembangan perjalanannya menuai pro dan kontra di antara masyarakat Pati. Persoalan inilah yang seharunya diklarifikasi lebih dulu.
Untuk meluruskan sejarah Pati sesuai dengan kronologi sejarah Nasional,haruslah lewat penelitian yang akurat,sebelum membedah sejarah Pati lebih lanjut secara keseluruhan. Selama ini masyarakat Pati mengenal sejarahnya hanya melalui media hiburan Kethoprak saja.

PASEMON DALAM BABAD
Cerita dalam babad sebenarnya tak bisa begitu saja ditelan sebagai fakta sejarah. Begitu juga dengan cerita lakon ketoprak. Cerita versi babad dan ketoprak hanya bisa digunakan sebagai salah satu referensi awal. Kemudian diuji kebenarannya dengan membandingkan sumber data sejarah yang lain. Karena dalam cerita babad banyak dibungkus dengan PASEMON baik sebagian maupun secara utuh dalam menulis maupun mengkisahkan.
Persoalannya dibalik pasemon- pasemon itu tersimpan hal yang dianggap tabu,atau sesuatu yang sarat dengan kepentingan politis penguasa saat itu. Semisal Serat Damar Wulan,yang mengisahkan Menak Jinggo raja Blambangan yang ingin mempersunting Kencono Wungu Ratu Majapahit. Lalu munculah Damar Wulan sebagai penyelamat,dan kemudian mempersunting sang ratu.
Pada kenyataannya cerita ini adalah pasemon politis dengan terkandung maksud tokoh Minak Jinggo yang buruk rupa sebagai penggambaran raja Blambangan Bhre Wirabumi putra Hayam Wuruk yang brontak menuntut tahta Majapahit dalam perang Paregreg. Sedangkan kencono Wungu adalah Dyah Suhita ratu Majapahit permaisuri Bhre Parameswara yang digambarkan sebagai Damar Wulan sang Pahlawan.



Dongeng tersebut hanyalah sebuah cerita rekayasa Mataram ketika hendak menguasai Jawa Timur, khususnya Blambangan sebagai kerajaan Hindu terakhir yang sulit untuk ditaklukan.
 Untuk itulah Mataram lalu merancang perang psikologis dengan menceritakan serat Damar Wulan. Maka luka lama sejarah Majapahit dalam perang Paregreg dibuka kembali. Konflik  masa lalu diantara trah Majapahit di dramatisir dalam dongong Serat Damar Wulan. Wirabumi yang dikultuskan oleh rakyat Blambangan dijatuhkan martabatnya dalam dongeng tersebut. Tujuannya adalah untuk mengadu domba dan memecah belah para keturunan atau trah Majapahit di Jawa Timur antara pihak keraton Wetan (Blambangan) dengan keraton Kulon (Kahuripan/Trowulan)

PERSAMAAN CERITA SERAT DAMAR WULAN DENGAN CERITA KEMBANGJOYO 
Marilah kita cermati kisah Damar Wulan dengan cerita perseteruan Kembangjoyo dengan Menak Josari sebagai putra mahkota Parang Garuda. Menak Josari ingin mempersunting Rayung Wulan putri Charangsoka. Lalu munculah Kembangjoyo sebagai pahlawan yang kemudian mempersunting sang putri Carangsoko. Disinilah terjadi peperangan antara Parang Garuda dengan Carangsoka di daerah Kendeng wilayah Muria.

Kemiripan cerita inilah yang agaknya dipakai strategi politik untuk mengadu domba antara trah Majapahit yang tinggal di wilayah Kendeng dengan yang tinggal diwilayah lereng Muria. Demikian juga yang terisirat dalam kisah “Rebutan Gapuro Majapahit” tak lebih hanya untuk mengadu domba trah Majapahit di Ngerang (Juwana) dengan Muria (Pati). Jelaslah dongeng dongeng ini diciptakan Mataram yang didukung oleh Belanda untuk menguasai bumi Kendeng dan Muria dimasa itu.
Tentulah dimasa lalu pernah terjadi gejolak politik dalam perebutan kekuasaan diantara para pembesar di wilayah Kendeng dan Muria. Hanya saja baik dalam cerita tutur,babad dan kethoprak,konflik politik yang sebetulnya telah dibungkus dalam pasemon pasemon soal wanita saja. Masyarakat pati dibutakan dengan persoalan politik yang sebenarnya terjadi, dan cukup dibuai dengan dongeng – dongeng romantis.
Yang menjadi persoalan saat ini, siapakah tokoh politik yang dikaburkan jejeak sejarahnya dengan nama Kembangjoyo itu,seperti halnya Damar Wulan? Demikian juga dengan Menak Josari yang dicitrakan buruk rupa sama seperti Minak Jingga? Lantas apakah negeri pesantenan hanyalah ilusi semata dalam dongeng?

PESANTENAN DI ERA PAJAJARAN
Memang dalam babad Pati ditulis Kembangjoyo sebagai adipati Pesantenan pada saat Pajajaran runtuh dengan Siung Wanara sebagai Rajanya. Kemudian kerajaan di tanah Jawa pindah ke Majapahit yang didirikan oleh Jaka Suruh. Demikian juga tertulis dalam Babad Tanah Jawa sebagai babonan sejarah Jawa, bahwa Majapahit berdiri setelah Pajajaran runtuh.
Oleh beberapa pakar sejarah telah disepakati bahwa yang dimaksud Jaka Suruh adalah Raden Wijaya pendiri Majapahit di tahun 1293 M,tapi setelah Singasari dengan Kertanegara sebagai Rajanya jatuh. Anak SD pun tahu soal ini dari buku Sejarah Nasioanal. Anehnya Babad Tanah Jawi dan Babad Pati sama sekali tak menuliskan sejarah Singasari dengan Ken Dedes dan Ken Arok sebagai rajanya sebelum Majapahit berdiri.

Agaknya penulis Babad Tanah Jawa yang diikuti oleh penulis Babad Pati sengaja menghapus sejarah Ken Arok yang asalnya Perampok dari Padang Karautan menurut Serat Pararton. Lantas Singasari diganti sejarahnya dengan Pajajaran yang Siyung Wanara sebagai rajanya.
Padahal menurut info dari tanah Pasundan dimana siyung Wanara berasal,tertulis didalam sastra Sunda klasik”Carita Parahiyangan” bahwa Ciung Wanara(dalam sastra jawa ditulis “Siung Wanara “) adalah raja Galuh Karang Kamulyan bernama “Manarah”,tahun 739-783M,semasa dengan Sanjaya pendiri Mataram Hindu. Dan barulah 5 abad kemudian berdiri Majapahit. Sementara Pajajaran didirikan oleh Prabu Siliwangi pada tahun 1482-1521 M,semasa surutnya Majapahit dan bangkitnya kasultanan Demak. Inilah kerancuan kronologis yang terdapat dalam semua naskah sejarah Jawa yang bersumber dari buku Babad Tanah Jawa. Sehingga mengakibatkan Tim Penyusun Sejarah Pati menyesuaikan kronologi tersebut sebagai jejak awal dalam penentuan keberadaan Hari Jadi Pati.

PESANTENAN DI ERA DEMAK
Lepas dari kerancuan cerita babad yang sudah terkontaminasi kepentingan politik penguasa pada zamannya, justru dalam cerita tutur yang kemudian dipentaskan dalam panggung kethoprak,keberadaan Kembangjoyo mengindikasikan hidup diatara era surutnya kerajaan Majapahit dan kebangkitan kasultanan Demak. Dituturkan ketika terjadi Ontran-ontran di Majapahit,ada beberapa pelarian Majapahit yang menyelamatkan diri ke wilayah Pati. Diantaranya ada yang mengungsi diwilayah gunung Panti di desa Goda, dan ada yang nyasar sampai di desa Bakaran.
Tersebutlah dalam legenda desa Bakaran,ada seorang putri pelarian dari Majapahit dengan nama Nyai Banowati yang berganti nama menjadi Nyai Sabirah. Dia mempunyai keponakan yang bernama Soponyono berprofesi sebagai dalang. Dia adalah putra dari dalang bernama Ki Bicak dari Majapahit yang kemudian menjadi terkenal di daerah Demak. Dalam babad Tanah Jawa dikabarkan bahawa Ki Dalang Bicak dibunuh oleh ki Ageng Selo yang menghendaki Nyai Bicak untuk diperistri. Sementara ada sumber lain yang menyebutkan bahwa nyai Bicak adalah putri dari nyai Ageng Ngeran I(Roro Kasihan).  Dalam Sililsilah Pangiwo dan Silsilah Panengen( Keraton Mangkunegaran) memang tertulis bahwa istri ki Ageng Selo adalah anak Nyai Ageng Ngerang I. Dalam cerita tutur Nyai ageng Ngerang disebut Roro Kinasih.

Kemudian dalam Babad Pati jelas ditulis bahwa ki dalang Soponyono adalah sahabat Kembangjoyo,bahkan Ambarwati adiknya Soponyono jadi istri Kembangjoyo. Ketika Kembangjoyo jadi adipati Pesantenan , menurut cerita kethoprak, Soponyono di jadikan patih Pesantenan dengan sebutan Singosari. Sayangnya dalam babad Pati tak tertulis siapa orang Tua Kembangjoyo. Tentunya sebagai seorang adipati sebesar Pesantenan yang sama wilayahnya dengan Tuban di pesisir utara harusnya tercatat tentang silsilahnya.

Masih beruntung ada bocoran cerita, lagi-lagi versi cerita tutur. Diceritakan bahwa Kembangjoyo diambil anak angkat oleh Cokro Joyo adipati Tujungpuro mengganti putranya yang meninggal bernama Ronggojoyo yang tewas karena di sambar petir bersama Roro Pujiwat (Putri Sunan Ngerang)dalam cerita perebutan Pintu Majapahit.(Cerita Fantastis ini nampaknya perlu kita dalami maksud dan tujuannya)
Adapun versi lain menerangkan bahwa Cokrojoyo adalah murid dari Sunan Ngerang. Adalagi yang mengisahkan bahwa Cokrojoyo adalah Sunan Panggung murid dari Sunan Kalijaga. Yang kemudian Cokrojoyo adalah Sunan Geseng.

Bocoran lain tentang Kembangjoyo datang dari cerita tutur,versi bapak Legi Saputro,bahwa Kembangjoyo adalah anak Sunan Muria yang bernama Sahid Kusumastuti putra Sunan Katong di Kaliwungu. Sementara ada Sunan Muria yang Lain adalah bernama Umar Said putra dari Sunan Kalijaga. Mungkin saja pada saat itu di wilayah Muria ada dua pemimpin yang sudah kami sebutkan tadi. Yang Umar Said wilayahnya adalah di sebelah barat gunung Muria, sementara yang Sahid Kusumastuti bereda di wilayah sebelah timur Muria.

TENTANG SUNAN KATONG
Lebih lanjut tentang Sunan Katong di Kaliwungu. Kalau dalam babad Kendal diberitakan bahwa Sunan Kathong tak lain adalah bathara Kathong yang kemudian menjadi Adipati Ponorogo. Posisinya di Kaliwungu kemudian digantikan oleh cucunya yaitu Kyai Katong. Dia adalah putra Pangeran Sabrang lor dengan putri Ponorogo ,anak dari Bhatara Katong. Adapun pangeran Sabrang Lor dikenal dengan nama Adipati Yunus(Pati Unus) sebagai Adipati Jepara ,sebelum menjadi sultan II Demak (1518-1521 M). Sedangkan Bhatara Katong adalah Putra dari Hyang Purwawisesa (Brawijaya III) 
Raja Majapahit (1456-1466 M)7

DUGAAN-DUGAAN DAN KESIMPULAN SEMENTARA
Dari sekian cerita turur yang kemudian disinkronkan dengan teks dari Babad Pati,dapat diduga keberadaan Kembangjoyo adalah semasa Kesultanan Demak dan surutnya Majapahit. Jadi bukan pada era Majapahit, apalagi Galuh. Tetapi memang pada waktu era Pajajaran menjelang akhir kekuasaan Prabu Siliwangi tahun 1521 M.
Pada tahun yang sama dimasa akhir dari kekuasaan Pati Unus yang gugur melawan Portugis di Malaka. Sementara H.J. D. Graff mengutip dari Babad Sangkalaning Memana, mencatat bahwa Kayu Bralit adalah Adipati di Pati yang berkuasa tahun 1511-1518M. Di tahun terakhir Adipati Kayu Bralit berkuasa tepat angka tahun dimana Pati Unus menaklukan Ranawijaya Raja Majapahit terakihir yang beribukota di Daha. Bila silsilah yang diasampaikan oleh Legi Saputro itu benar, maka Kembangjoyo masih kerabat Pati Unus. Maka disini timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud Kembangjoyo adalah nama laini Kayu Bralit?  Sementara belum kita ketahui karena peristiwa apa kekuasaan adipati Kayu Bralit Berakhir? Secara politik Kayu Bralit ada pada pihak Majapahit ataukah Demak? Apakah berakhirnya kekuasaan Kayu Bralit kerana meninggal akibat peperangan Demak versus Daha pada tahun 1518? Dan semuanya akan bisa terjawab melalui penelitian lebih lanjut.


penulis

     Tim Sejarah Pati
      Djoko Wahjono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar