SEJAK akhir abad ke-19, setelah penemuan naskah
Pararaton yang menguraikan keluarga raja-raja Majapahit, para ahli sejarah
mulai menyusun sejarah kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu secara ilmiah, sebab
data Pararaton ternyata banyak yang sesuai dengan prasasti-prasasti dari zaman
Majapahit. Sayangnya, uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja Majapahit
sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-kadang membingungkan,
sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan menafsirkannya. Itulah
sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang rekonstruksi sejarah Majapahit
belumlah tuntas. Tulisan ini khusus membahas hubungan kekeluargaan dinasti
Majapahit dan diharapkan dapat menjembatani perbedaan penafsiran naskah
Pararaton di kalangan para ahli sejarah.
Terlebih dahulu kita catat daftar raja-raja Majapahit.
Raja pertama,
Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya yang
dikenal dengan Raden Wijaya (1294–1309), digantikan putranya, Jayanagara Raden
Kalagemet (1309-1328). Jayanagara digantikan adik wanitanya, Tribhuwana
Wijayottunggadewi Dyah Gitarja (1328–1350). Lalu tahta kerajaan diwarisi putra
Tribhuwana,
Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk (1350–1389). Hayam Wuruk
digantikan keponakan dan menantunya,
Wikramawardhana Hyang Wisesa (1389–1429). Setelah itu
naik tahta putri Wikramawardhana, Prabhu Stri Dyah Suhita (1429–1447).
Selanjutnya Suhita digantikan adiknya,
Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (1447–1451).
Kemudian tahta Majapahit secara berturut-turut diwarisi oleh tiga orang putra
Kertawijaya: Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451–1453);
Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa (1456–1466); serta Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1478).
Majapahit tiga kali mengalami pertikaian tahta di
antara keluarga kerajaan. Pertikaian pertama berlangsung 30 tahun (1376–1406)
ketika kadaton wetan memisahkan diri dari pusat pemerintahan. Pertikaian kedua
terjadi pada tahun 1453-1456 sehingga Majapahit tidak mempunyai raja selama
tiga tahun. Pertikaian terakhir tahun 1468–1478 menyebabkan keruntuhan
Majapahit.
Penafsiran data Pararaton harus didasari pemahaman
terhadap konsep kosmogoni Siwa-Buddha yang menganggap suatu kerajaan sebagai
perwujudan Gunung Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya
keluarga Majapahit menamakan diri mereka
Girindrawangsa , dan berabad-abad sebelumnya keluarga
Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa , yang sama-sama berarti
‘Keluarga Gunung Indra’.
Pusat kerajaan Majapahit (di sekitar Mojokerto
sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan (mandala-mandala ) yang meliputi
delapan penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha,
Lasem, Pajang, dan Kabalan. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr. Boechari,
“While the kingdom is compared with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is
thought to be Indra on earth, and that the eight Lokapala are incorporated in
his nature ” (MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala,
Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang menyangga kestabilan
sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11.
Itulah sebabnya kombinasi wilwatikta-janggala-kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha)
banyak dijumpai dalam prasasti-prasasti.
Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit
bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu ) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga
kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre
Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. (Gelar apanage
semacam ini masih berlaku di Kerajaan Inggris: suami
Ratu Elizabeth diberi gelar Duke of Edinburgh, sedangkan putra mereka bergelar
Prince of Wales.) Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre
Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre
Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan
Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region ), boleh disandang pria atau
wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu. Sebagaimana
ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were
the regions assigned to the most highly placed members of the royal family ”
(Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup
banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre
Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.
PERIODE AWAL MAJAPAHIT (1294–1375)
Kertarajasa , yang naik tahta tahun 1294, beristri
empat putri Kertanagara (raja terakhir Singasari), yaitu Tribhuwaneswari,
Mahadewi, Jayendradewi, Rajapatni Gayatri. Kertarajasa juga beristri Dara Petak
Sri Indreswari, putri dari Malayu. Dari Gayatri, Kertarajasa memperoleh dua
putri:
Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah
Gitarja dan Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat. Putri-putri Kertanagara yang lain
tidak berketurunan. Dari Dara Petak, Kertarajasa berputra Bhre Daha(I)
Jayanagara Raden Kalagemet, yang diakui sebagai putra permaisuri
Tribhuwaneswari. Setelah Kertarajasa wafat tahun 1309, Jayanagara menjadi raja
Majapahit, dan gelar Bhre Daha(II) disandang oleh Rajadewi. Ketika Jayanagara wafat tanpa keturunan tahun 1328,
Tribhuwana menjadi ratu Majapahit. Dia bersuami Bhre Tumapel(I) Kertawardhana Raden Cakradhara, dan
memperoleh sepasang putra-putri: Bhre Kahuripan(II) Rajasanagara Dyah Hayam
Wuruk dan Bhre Pajang(I) Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja.
Kertawardhana dari selir juga berputra Raden Sotor. Adapun Bhre Daha(II)
Rajadewi bersuami Bhre Wengker(I) Wijayarajasa Raden Kudamerta, dan memperoleh
putri Bhre Lasem(I) Rajasaduhita Indudewi. Wijayarajasa dari selir juga
berputri Sri Sudewi Padukasori.
Pada tahun 1350 Hayam Wuruk menggantikan sang ibunda
di atas tahta Majapahit, dan Tribhuwana kembali bergelar Bhre Kahuripan(I).
Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, dan berputri Bhre Kabalan(I) Kusumawardhani.
Dari selir, Hayam Wuruk memperoleh seorang putra yang tidak jelas namanya. Bhre
Pajang(I) Dyah Nartaja bersuami Bhre Paguhan(I) Singawardhana Raden Sumana,
memperoleh satu putra dan dua putri:
Bhre Mataram(I) Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi(I) Nagarawardhani, dan Bhre Pawanawan
Surawardhani atau Rajasawardhani. Adapun Bhre Lasem(I) Indudewi bersuami Bhre
Matahun(I) Rajasawardhana Raden Larang. Oleh karena pasangan ini tidak
berketurunan, mereka mengadopsi putra Hayam Wuruk dari selir.
Kemudian terjadilah pernikahan antar sepupu:
Kusumawardhani bersuami Wikramawardhana; Nagarawardhani bersuami putra Hayam
Wuruk dari selir; dan Surawardhani bersuami
Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala Raden Sumirat, putra
Raden Sotor. Setelah Bhre Daha(II) Rajadewi dan Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana
wafat antara tahun 1372 dan 1375, terjadilah rotasi gelar: Indudewi menjadi
Bhre Daha(III) ; Nagarawardhani menjadi Bhre Lasem(II), dan suaminya menyandang
gelar Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(III) paling
layak diwarisi putra mahkota Wikramawardhana, meskipun hal ini tidak disebutkan
dalam Pararaton.
Wikramawardhana dan Kusumawardhani memperoleh tiga
putra dan satu putri: putra sulung Bhre Mataram(II) Rajasakusuma yang mewarisi
gelar ayahnya, putra kedua yang tidak jelas namanya, putri Suhita, dan putra
bungsu Kertawijaya. Ranamanggala dan Surawardhani memperoleh satu putra dan dua
putri: Ratnapangkaja yang menjadi suami Suhita, putri sulung yang menjadi istri
putra kedua Wikramawardhana, dan putri bungsu Jayeswari yang menjadi istri
Kertawijaya.
Bhre Wirabhumi(II) dan Nagarawardhani memperoleh putra
Bhre Pakembangan yang wafat dalam ‘perburuan’ (ketika berburu di hutan ataukah
ketika menjadi buronan politik?) serta tiga orang putri.
PERIODE KADATON WETAN (1376–1406)
Pertikaian tahta mulai terjadi ketika muncul kerajaan
separatis yang dalam Pararaton disebut kadaton wetan (istana timur), untuk membedakannya
dari kerajaan Majapahit yang disebut kadaton kulon (istana barat). Hal ini
diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat tumuli hana gunung anyar i saka 1298
(“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka = 1376 Masehi”). Oleh karena ‘gunung’
melambangkan tahta kekuasaan, informasi ini mengisyaratkan munculnya kerajaan
baru.
Kerajaan tandingan ini tercatat dalam kronik Cina
Ming-shih (Sejarah Dinasti Ming). Kronik Ming-shih menerangkan dua rombongan
utusan dari Jawa tahun 1377, yang diterjemahkan Willem Pieter Groeneveldt
sebagai berikut: “ In this country there is a western and an eastern king. The
latter is called Wu-lao-wang-chieh and the former Wu-lao-po-wu. Both of them
sent envoys with tribute ”. Para ahli sejarah tidak sulit mengenali tokoh kerajaan
barat, Wu-lao-po-wu , sebagai ‘Bhatara Prabhu’, yaitu raja Hayam Wuruk. Akan
tetapi baru pada tahun 1964 Prof. George Coedes mampu mengidentifikasi tokoh
kerajaan timur, Wu-lao-wang-chieh , sebagai ‘Bhatara Wengker’.Bhre Wengker pada zaman Hayam Wuruk adalah
Wijayarajasa, suami Rajadewi bibi Hayam Wuruk. Wijayarajasa juga mertua Hayam
Wuruk sebab merupakan ayah dari permaisuri Sri Sudewi. Dari kitab
Nagarakretagama yang ditulis pujangga Prapanca tahun 1365 kita memperoleh
gambaran bahwa Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk berkuasa. Setelah
Patih Gajah Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya Tribhuwana dan
Rajadewi antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya sebab
tokoh-tokoh yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia
memproklamasikan kadaton wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya
Majapahit dan kadaton wetan sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di
Cina.
Di manakah letak kadaton wetan? Menurut Pararaton dan
prasasti Biluluk, Wijayarajasa bergelar
Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di
Pamotan). Oleh karena kata muwat bersinonim dengan nanggung, maka Pamotan (Pamuwatan) barangkali adalah
Gunung Penanggungan di sebelah timur Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya
sengaja memilih tempat itu menjadi pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan
separatisnya. Daerah Penanggungan atau Pamotan merupakan tempat suci raja
Airlangga, sehingga Wijayarajasa kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan
negara baru itu mengikuti tradisi Airlangga yang pernah membagi dua
kerajaannya.
Adanya kadaton wetan menyebabkan keluarga Majapahit
pecah menjadi dua kelompok. Sebagian besar tetap setia kepada Hayam Wuruk. Akan
tetapi mereka yang berkerabat dengan Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton wetan, yaitu Bhre Daha(III) Indudewi dengan
suaminya Bhre Matahun(I) Raden Larang, dan anak angkat mereka Bhre Wirabhumi(II)
dengan istrinya Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga orang putri Bhre
Wirabhumi(II). Hayam Wuruk segan bertindak tegas menghadapi negara separatis
itu sebab Wijayarajasa adalah mertuanya, Indudewi adalah sepupunya, dan Bhre
Wirabhumi(II) adalah putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh senior masih
hidup, kadaton kulon dan kadaton wetan saling menenggang rasa sehingga
konfrontasi terbuka dapat dihindari.
Akan tetapi keadaan seperti itu tidaklah dapat
dipertahankan setelah para tokoh senior meninggal dunia. Pada tahun 1386
Kertawardhana (ayah Hayam Wuruk) wafat. Dua tahun berikutnya, 1388, wafat pula
secara berturut-turut permaisuri Sri Sudewi, Dyah Nartaja (adik Hayam Wuruk)
dan suaminya Raden Sumana. Dua tokoh kadaton wetan , Raden Larang dan
Wijayarajasa sendiri, juga wafat. Akhirnya mangkat pula raja Hayam Wuruk tahun
1389.
Wikramawardhana menjadi raja Majapahit dan kemudian
dikenal dengan Hyang Wisesa, sedangkan tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre
Kahuripan(IV) disandang Surawardhani, dan putra kedua Wikramawardhana digelari
Bhre Tumapel(II). Suhita dan suaminya, Ratnapangkaja,
kiranya menjadi Bhre Pajang(II) dan Bhre Paguhan(II) . Wikramawardhana
bertindak konfrontatif terhadap
kadaton wetan dengan memberikan gelar Bhre Lasem (yang
sedang disandang adiknya, Nagarawardhani) kepada permaisurinya, Kusumawardhani.
Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut Bhre Lasem Yang Cantik (Sang Ahayu) dan
Nagarawardhani disebut Bhre Lasem Yang Gemuk (Sang Alemu).
Putra mahkota Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan
bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha. Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II)
Nagarawardhani, Bhre Lasem(III) Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV)
Surawardhani, dan Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi
gelar bagi yang muda. Ratnapangkaja menjadi Bhre Kahuripan(V) , dan adiknya,
istri Bhre Tumapel(II), menjadi Bhre Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden Jagulu, adik
Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre Lasem(IV) masing-masing
diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III). Satu-satunya tokoh senior
yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III) Indudewi yang mendampingi anak
angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton wetan .
Konfrontasi antara Wikramawardhana dan Bhre
Wirabhumi(II) akhirnya menimbulkan Perang Paregreg tahun 1405–1406. Kadaton
wetan mengalami kekalahan dengan gugurnya Bhre Wirabhumi(II), sehingga
Majapahit utuh kembali setelah pecah 30 tahun. Untuk menghilangkan benih balas
dendam, tiga putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing dinikahi oleh
Wikramawardhana, Bhre Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre Wengker(II)
cucu Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar Bhre
Mataram(III), Bhre Lasem(V) , dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu pernikahan
yang sangat unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga generasi!
PERIODE PASCA PAREGREG (1406–1453)
Seusai Perang Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi
diboyong pulang oleh Wikramawardhana ke Majapahit dan dihormati sebagai
sesepuh. Saudara sepupu Hayam Wuruk ini wafat tahun 1415 bersama-sama Bhre
Mataram(III) dan Bhre Matahun(II). Gelar Bhre Daha(IV) paling layak diwarisi
oleh Suhita meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton, dan adiknya,
Kertawijaya, kiranya menjadi Bhre Mataram(IV). Istri Kertawijaya, Jayeswari,
pantas menjadi Bhre Kabalan(II).
Bhre Tumapel(II) dan putranya, Bhre Wengker(II), wafat
tahun 1427. Dua tahun kemudian, 1429, mangkat pula raja Wikramawardhana, dan
Suhita menjadi ratu Majapahit. Kertawijaya menjadi Bhre Tumapel(III), sedangkan
gelar Bhre Daha(V) diwarisi Jayeswari. Sekitar tahun 1430 wafat pula Bhre
Lasem(IV), Bhre Lasem(V), dan Bhre Pandansalas(II). Oleh karena Suhita tidak
berketurunan, maka yang mewarnai sejarah Majapahit selanjutnya adalah keturunan
Bhre Tumapel(II) dan Bhre Tumapel(III) Kertawijaya.
Bhre Tumapel(II) dengan istrinya Bhre Lasem(V)
mempunyai tiga putri dan satu putra: Bhre Jagaraga Wijayendudewi Dyah
Wijayaduhita,
Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini,
Bhre Pajang(III) Dyah Sureswari, dan putra bungsu
Bhre Keling(I). Bhre Jagaraga dinikahi Ratnapangkaja,
sedangkan Bhre Tanjungpura dan Bhre Pajang(III) menjadi istri Bhre
Paguhan(III). Bhre Keling(I) beristri Bhre Kembangjenar Rajanandaneswari Dyah
Sudharmini, putri Bhre Pandansalas(II) Raden Jagulu. Menurut Pararaton, semua
pernikahan di atas tidak membuahkan keturunan.
Bhre Tumapel(III) Wijayaparakramawardhana Dyah
Kertawijaya dengan istrinya Bhre Daha(V) Jayawardhani Dyah Jayeswari mempunyai
tiga putra, yaitu Bhre Pamotan(I) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Bhre
Wengker(III) Girisawardhana Dyah Suryawikrama, dan Bhre Pandansalas(III)
Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Setelah Bhre Paguhan(III) wafat tahun
1440, Rajasawardhana menikahi Bhre Tanjungpura Manggalawardhani. Girisawardhana
beristri Bhre Kabalan(III) Mahamahisi Dyah Sawitri, putri Bhre Wengker(II)
dengan Bhre Matahun(II). Suraprabhawa menikahi Bhre Singapura
Rajasawardhanidewi Dyah Sripura, putri Bhre Paguhan(III) dari selir.
Bhre Kahuripan(V) dan Bhre Keling(I) wafat tahun 1446.
Rajasawardhana menjadi Bhre Keling(II). Setelah ratu Suhita mangkat tahun 1447,
Kertawijaya mewarisi tahta Majapahit, dan gelar Bhre
Tumapel(IV) disandang Suraprabhawa. Rajasawardhana yang kini putra mahkota
kembali bertukar gelar menjadi Bhre Kahuripan(VI) dan kelak dikenal dengan
julukan Sang Sinagara. Daftar keluarga Majapahit pada masa Kertawijaya
tercantum lengkap dalam prasasti Waringin Pitu tahun 1447.
Pararaton menyebutkan bahwa putra-putra Sang Sinagara
ada empat orang. Dalam prasasti Waringin Pitu tercantum nama-nama putra pertama
dan kedua, yaitu Bhre Matahun(III) Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya serta Bhre
Keling(III) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Putra ketiga dan keempat belum
lahir pada tahun 1447. Menurut prasasti Waringin Pitu, Samarawijaya dan
Wijayakarana sejak kecil dijodohkan masing-masing dengan Bhre Wirabhumi(III)
Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari dan Bhre Kalinggapura Kamalawarnadewi Dyah
Sudayita, putri-putri Bhre Wengker(III) Girisawardhana dengan Bhre Kabalan(III)
Sawitri.
Bhre Kabalan(III) Sawitri dan Bhre Pajang(III)
Sureswari wafat tahun 1450. Setahun kemudian mangkat pula raja Kertawijaya, dan
Rajasawardhana naik tahta Majapahit tahun 1451. Gelar Bhre Kahuripan(VII)
diwarisi putra mahkota Samarawijaya, sedangkan adiknya, Wijayakarana, menjadi
Bhre Mataram(V). Kiranya saat itu putra ketiga dan keempat Rajasawardhana sudah
lahir, yang masing-masing menyandang Bhre Pamotan(II) dan Bhre Kertabhumi .
Nama-nama dua orang yang terakhir ini tercantum dalam prasasti Trailokyapuri,
yaitu Singawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
PERIODE AKHIR MAJAPAHIT (1453–1478)
Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun
1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya dan
Bhre Wengker(III) Girisawardhana. Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan
Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja ( telung tahun tan hana prabhu , kata
Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala
Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang
Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang
sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya.
Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses
rekonsiliasi tersebut.
Bhre Daha(V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar
Bhre Daha(VI) disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan
raja Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.
Adik bungsu Sang Sinagara, Bhre Tumapel(IV) Suraprabhawa,
ternyata berambisi juga menjadi raja. Dia menduduki tahta Majapahit. Sudah
tentu para keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta
(prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara
memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking
kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre
Mataram(V) Wijayakarana, Bhre Pamotan(II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre
Kertabhumi Ranawijaya. Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan
Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta.
Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di
Jinggan).
Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya
dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang
menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup
uraian sejarah Majapahit dengan kalimat kapernah paman, bhre prabhu sang mokta
ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun
1478”).
Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’)
mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu
dipakai kalimat yang berbau surga, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring
somyalaya, dan semacamnya. Raja Jayanagara yang terbunuh tahun 1328 diungkapkan
Pararaton dengan istilah mokta ring pagulingan (‘mangkat di tempat tidur’).
Kiranya Suraprabhawa bernasib serupa. Raja terakhir Majapahit ini gugur di
istana ketika bertempur melawan para keponakannya.
Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus
ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti
Petak menyebutkan kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha
lawaning majapahit
(“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh
berperang melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan (‘naik-jatuh’) berarti
meraih kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran ( won the war but lost the
battle ).
KERAJAAN KELING DAN DAHA (1478–1527)
Sesudah Majapahit runtuh tahun 1478, tiga orang adik
Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya,
mendirikan kerajaan baru di Keling (antara Mojokerto dan Kediri sekarang).
Mereka bertiga secara berturut-turut menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja
Bhatara Keling . Mula-mula Girindrawardhana Dyah Wijayakarana bertahta
(1478–1486), dan setelah wafat berjuluk Sang Mokta ring Amertawisesalaya. Dia
digantikan oleh Singawardhana Dyah Wijayakusuma yang memerintah mungkin hanya
beberapa bulan, lalu mendadak wafat dan berjuluk Sang Mokta ring
Mahalayabhawana. Akhirnya
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menjadi raja
(1486–1527), yang dikenal sebagai Bhatara Wijaya atau Brawijaya.
Ranawijaya mengeluarkan prasasti Petak dan
Trailokyapuri tahun 1486. Prasasti Petak menceritakan kemenangan Sang Munggwing
Jinggan melawan Majapahit. Prasasti Trailokyapuri menguraikan upacara sradha mengenang 12 tahun wafatnya Bhatara Daha Sang
Mokta ring Indranibhawana, ibunda Ranawijaya (janda Sang Sinagara), yaitu Bhre
Daha(VI) Manggalawardhani Dyah Suragharini yang wafat tahun 1474.
Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome
Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan
menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur).
Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja
sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara.
Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa
Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya.
Uraian Tome Pires bahwa Batara Mataram menjadi raja
menggantikan Batara Sinagara jelas tidak benar. Sang Sinagara wafat tahun 1453,
sedangkan Bhre Mataram Wijayakarana naik tahta tahun 1478 setelah dia dan
saudara-saudaranya meruntuhkan Majapahit. Tetapi uraian Tome Pires mudah kita
pahami, sebab dia memperoleh informasi dari pihak Ranawijaya. Putra-putra Sang
Sinagara tentu beranggapan bahwa paman-paman mereka, Girisawardhana dan
Suraprabhawa, ‘kurang sah’ menjadi raja.
Tome Pires mengatakan Batara Vigiaya bertahta di Daha.
Ini berarti antara tahun 1486 dan 1513 Ranawijaya memindahkan pusat kerajaan
dari Keling ke Daha. Menurut Tome Pires, Batara Vigiaya hanyalah raja boneka,
sebab kekuasaan diatur mertuanya, Guste Pate Amdura. Persahabatan Guste Pate
dengan Portugis membuat marah Pate Rodin Senior, raja Demak yang merupakan
musuh Portugis. Pate Rodin Senior mempunyai putra Rodin Junior dan mempunyai
menantu Pate Unus yang pernah menyerang benteng Portugis di Malaka. Yang
disebut Pate Rodin Senior, Pate Unus, dan Rodin Junior oleh Tome Pires tiada
lain adalah sultan-sultan Demak: Raden Patah (1481–1518), Adipati Yunus
(1518–1521), dan Raden Trenggana (1521–1546). Kesultanan Demak menaklukkan Daha
tahun 1527 pada masa pemerintahan Trenggana, sehingga berakhirlah zaman
kerajaan Hindu di Jawa Timur.
ISLAM DAN MAJAPAHIT
Masyarakat Islam sudah eksis di Jawa Timur sejak abad
ke-11, dua abad sebelum berdirinya Majapahit. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan
nisan bertuliskan huruf Arab yang menerangkan wafatnya Fathimah (`Ashimah?)
binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijri (2 Desember 1082). Beberapa istilah
bahasa Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh,
pujangga kerajaan Panjalu abad ke-12. Pemakaman kuno di Tralaya, lokasi bekas
keraton Majapahit, dipenuhi batu nisan yang bertuliskan huruf Arab, dan ada
yang dilengkapi kutipan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tiga buah makam berasal dari
zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh 1290, 1298 dan 1302 Saka (1368,
1376 dan 1380 Masehi). Hal ini merupakan bukti nyata bahwa
agama Islam sudah dianut oleh sebagian penduduk
ibukota Majapahit pada masa kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya .
Sebuah makam bertarikh 1370 Saka (1448) dikenal
masyarakat sebagai makam Putri Cempa yang beragama Islam. Mungkin ini ucapan
lidah Jawa untuk “Putri Jeumpa” yang menyatakan asal putri itu dari Aceh
Serambi Mekkah. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri Cempa adalah permaisuri
Brawijaya. Istilah ‘Brawijaya’ (singkatan dari Bhatara Wijaya) harus kita
cermati, sebab ada tujuh orang keluarga Majapahit yang namanya memakai kata
wijaya , yaitu Sanggramawijaya (raja pertama), Kertawijaya (raja ke-7), Wijayakumara
(Sang Sinagara, raja ke-8), serta putra-putra Sang Sinagara: Samarawijaya,
Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Jika cerita tentang Putri Cempa ini
benar, barangkali dia adalah selir Kertawijaya (1447–1451), sebab sang
permaisuri adalah Bhre Daha(V) Jayeswari.
Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa kesultanan
Mataram menerangkan tujuh raja Majapahit yang bergelar Brawijaya, dan tahta
Brawijaya terakhir diruntuhkan putranya sendiri, Raden Patah, adipati Demak
yang beragama Islam. Mitos yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa itu
jelas menyesatkan, sebab Majapahit runtuh tahun 1478 lantaran pertikaian sesama
keluarga kerajaan itu sendiri. Justru kevakuman kekuasaan akibat runtuhnya
Majapahit dimanfaatkan oleh Demak untuk tampil sebagai kesultanan Islam pertama
di Jawa.
Kerajaan Hindu yang ditaklukkan oleh Demak bukanlah
Majapahit, melainkan Kerajaan Daha, yaitu tahta Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya (Brawijaya terakhir) yang tidak pernah menjadi raja Majapahit.
Justru Majapahit runtuh oleh serangan Ranawijaya dan kakak-kakaknya. Dengan
demikian, Babad Tanah Jawi ternyata mencampuradukkan dua fakta sejarah yang
berlainan: (1) runtuhnya Majapahit tahun 1478 akibat serangan putra-putra Sang
Sinagara, serta (2) runtuhnya tahta Brawijaya di Daha tahun 1527 akibat
penaklukan oleh Demak
.***
LAMPIRAN: BHATARA-BHATARA DI DAERAH MANDALA
BHRE KAHURIPAN
Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Par.27:18,19; 29:32;
Nag.2:2
Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
Surawardhani 1389-1400 Par.29:23,26; 30:37
Ratnapangkaja 1400-1446 Par.30:5,6; 31:35
Rajasawardhana 1447-1451 Par.32:11; Prasasti War.Pitu
Samarawijaya 1451-1478 Par.32:23
BHRE DAHA
Jayanagara 1295-1309 Nag.47:2; Prasasti Sukamerta
Rajadewi 1309-1375 Par.27:15; 29:31; Nag.4:1
Indudewi 1375-1415 Par.29:19; 31:10,21
Suhita 1415-1429 ?
Jayeswari 1429-1464 Par.30:8; 31:34; 32:18; War.Pitu
Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri
BHRE TUMAPEL
Kertawardhana 1328-1386 Par.27:17; 29:34; 30:1;
Nag.3:1
Abangnya Suhita 1389-1427 Par.30:3,7,11,12; 31:6,24
Kertawijaya 1429-1447 Par.30:4,8; 32:1
Suraprabhawa 1447-1466 Par.32:21; War.Pitu; Trawulan
III
BHRE WENGKER
Wijayarajasa 1328-1388 Par.27:15; 30:19; Nag.4:2
Ayahnya Sawitri 1389-1427 Par.30:12,17; 31:25
Girisawardhana 1429-1456 Par.32:15; War.Pitu
BHRE LASEM
Indudewi 1350-1375 Par.27:23; Nag.5:1
Nagarawardhani 1375-1400 Par.29:22; 30:37
Kusumawardhani 1389-1400 Par.29:18,21; 30:36
Istri Bhre Tumapel(II) 1400-1430 Par.30:7; 31:31
Istri Bhre Tumapel(II) 1406-1430 Par.30:11; 31:31
BHRE PAJANG
Dyah Nartaja 1350-1388 Par.27:24; 29:20; 30:22;
Nag.5:2
Suhita 1389-1415 ?
Sureswari 1429-1450 Par.30:15; 32:6; War.Pitu
BHRE PAGUHAN
Raden Sumana 1350-1388 Par.27:25; 30:23; Nag.6:2
Ratnapangkaja 1389-1400 ?
Ayahnya Sripura 1400-1440 Par.30:13-17; 32:4
BHRE KABALAN
Kusumawardhani 1358-1389 Nag.7:4
Jayeswari 1415-1429 ?
Sawitri 1429-1450 Par.30:17; 32:5;
War.Pitu; Trawulan III
BHRE MATARAM
Wikramawardhana 1353-1375 Nag.6:3
Rajasakusuma 1375-1399 ?
Putri Wirabhumi(II) 1406-1415 Par.30:10; 31:21
Kertawijaya 1415-1429 Suma Oriental(?)
Wijayakarana 1451-1478 Par.32:23
BHRE MATAHUN
Raden Larang 1350-1388 Par.27:24; 30:21; Nag.6:1
Ibunya Sawitri 1406-1415 Par.30:11,13; 31:21
Samarawijaya 1447-1451 War.Pitu; Trawulan III
BHRE WIRABHUMI
Nagarawardhani 1354-1375 Nag.6:3
Raja kadaton wetan 1375-1406 Par.29:19,23; 30:9;
31:3,11
Pureswari 1447- ……. War.Pitu
BHRE PANDANSALAS
Ranamanggala 1375-1400 Par.29:26; 30:5; 31:1
Raden Jagulu 1400-1430 Par.31:31
Suraprabhawa 1430-1447 Par.30:18; 32:21
BHRE KELING
Putra BhreTumapel(II) 1429-1446 Par.30:16; 31:36
Rajasawardhana 1446-1447 Par.32:11
Wijayakarana 1447-1451 War.Pitu
BHRE PAMOTAN
Rajasawardhana 1429-1446 Par.32:11
Wijayakusuma 1451-1478 Par.32:23
BHRE PAWANAWAN
Surawardhani 1355-1389 Nag.6:4
BHRE PAKEMBANGAN
Putra Bhre Wirabhumi(II) ? Par.30:9
BHRE JAGARAGA
Wijayaduhita 1429-1466 Par.30:13; 32:20; War.Pitu
BHRE TANJUNGPURA
Manggalawardhani 1429-1464 Par.30:14; War.Pitu
BHRE KEMBANGJENAR
Sudharmini 1429- ……. Par.30:16; War.Pitu
BHRE SINGAPURA
Sripura 1429- ……. Par.30:18; War.Pitu; Trawulan III
BHRE KALINGGAPURA
Sudayita 1447- ……. War.Pitu
BHRE KERTABHUMI
Ranawijaya 1451-1478 Par.32:24
PUSTAKA (disusun menurut tahun terbit) :
Jan Laurens Andries Brandes, “Pararaton (Ken Arok) of
het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, bewerkt door Nicolaas
Johannes Krom, Verhandelingen 62, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1920.
Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Leran a
Java”,
Tijdschrift 65, Bataviaasch Genootschap, Batavia,
1925.
Martha Adriana Muusses, “Singhawikramawarddhana”,
Feestbundel 2, Bataviaasch Genootschap (150 jarig
bestaan 1778–1928), Batavia, 1929.
Nicolaas Johannes Krom, Hindoe-Javaansche
Geschiedenis, tweede herziene druk, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1931.
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An
Account of the East, Volume 1-2, translated from Portuguese, The Hakluyt
Society, London, 1944.
Louis-Charles Damais, “Etudes d’Epigraphie
Indonesienne: III. Liste de principales inscriptions datees de l’Indonesie”,
Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient , tome 46, Paris, 1952.
Louis-Charles Damais, “Etudes Javanaises: I. Les
tombes musulmanes datees de Tralaya”, Bulletin de l’Ecole Francaise
d’Extreme-Orient , tome 48, Paris, 1957.
Bertram Johannes Otto Schrieke,
Indonesian Sociological Studies, Part Two: Ruler and
Realm in Early Java, W. van Hoeve, The Hague & Bandung, 1957.
Willem Pieter Groeneveldt,
Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from
Chinese Sources , reprint, Bhratara, Djakarta, 1960.
Theodoor Gautier Thomas Pigeaud,
Java in the Fourteenth Century: A Study in Culture
History: The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. ,
Volume 4, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.
Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit , Parwa 1-2,
Jajasan Prapantja, Djakarta, 1962.
George Coedes, The Indianized States of Southeast
Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968.
Andries Teeuw et al, Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung,
Bibliotheca Indonesica 3, Martinus Nijhoff, The Hague, 1969.
Merle Calvin Ricklefs, “A Consideration of Three
Versions of the Babad Tanah Djawi, with Excerpts on the Fall of Madjapahit”,
Bulletin of the School of Oriental and African Studies , Vol.35(2), London,
1972.
Boechari, “Epigraphic Evidence on Kingship in Ancient
Java”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia , Jilid V(1), Bhratara, Jakarta,
1973.
Jacobus Noorduyn, “The Eastern Kings in Majapahit”,
Bijdragen 131, Koninklijk Instituut, Leiden, 1975.
Jacobus Noorduyn, “Majapahit in the Fifteenth
Century”, Bijdragen 134, Koninklijk Instituut, Leiden, 1978.
Hasan Djafar, Girindrawarddhana: Beberapa Masalah
Majapahit Akhir, Yayasan Nalanda, Jakarta, 1978.
Slametmulyana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur
Majapahit, Yayasan Idayu, Jakarta, 1983.
Nia Kurnia Sholihat, “Rekonstruksi Sejarah Majapahit”,
Harian Umum
Sinar Harapan , 13 Februari 1985.
___________
SUMBER TULISAN INI DARI:
NIA KURNIA SHOLIFAT IRFAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar