Kamis, 06 Agustus 2020

DUA DINASTY SANJAYA DAN DINASTI SAYLENDRA MENYATU



  ~Rakai Pikatan alias Mpu Manuku adalah trah (keturunan Dinasti Sanjaya) yang memerintah dari tahun 838 hingga tahun 855 Masehi. Menurut pendapat De Casparis beliau adalah putra dari Rakai Garung yang bernama Dang Karayan Patapan Sida Busu Pelar (Prasasti Gandasuli tahun 832 Masehi), Rakai Garung ini adalah seorang Raja bawahan Raja Kerajaan Mataram Kuna di zaman Raja Smaratungga (Prasasti Kayumwungan).   Rakai Garung telah menghadiahkan beberapa desa dalam kekuasaannya sebagai sima swatantra dengan tujuan untuk ikut merawat Candi Jinalaya atau Borobudur. Oleh Samaratungga, Rakai Pikatan di nikahkan dengan putrinya yang bernama Pramodawardhani. Keduanya berasal dari Dinasti yang berbeda, satu trah Dinasti Sanjaya (Rakai Pikatan) satunya lagi dari trah Dinasti Syailendra (Pramodawardhani),  Dengan jadinya Rakai Pikatan dan Pramodawardhani menjadi Raja Mataram Kuna selepas lengsernya Samaratungga, dimana mereka bahu membahu memerintah secara bersama-sama, Hal inilah yang membangkitkan kembali Dinasti Sanjaya yang sekian lama terpuruk menjadi Raja bawahan Dinasti Syailendra, sejak Dharanindra dan Smaratungga memerintah di Kerajaan Mataram Kuna.

Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah raja keenam Kerajaan Medang menurut prasasti Mantyasih bagian B.Berdasarkan daftar raja yang tertulis dalam Prasasti Mantyasih (907 M) Terdapat sembilan penguasa Kerajaan Mataram Kuno sampai masa Rakai Watu Kura Dyah Balitung. Diawali

Rakai Mataram sang Ratu Sanjaya,
Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
Sri Maharaja Panunggalan,
Sri Maharaja Rakai Warak,
Sri Maharaja Rakai Garung,
Sri Maharaja Rakai Pikatan,
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi,
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang. Terakhir adalah raja yang menulis prasastinya, Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.

Sementara berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, ada 13 raja yang pernah berkuasa di Mataram Kuno sebelum Balitung. Disebutkan
Rakai Panangkaran naik takhta pada 746 M. Tiga puluh delapan tahun kemudian (784 M), dia digantikan Rakai Panaraban.
Pada 803 M, rajanya berganti Rakai Warak Dyah Manara yang menjabat 24 tahun.
Pada 827 M penggantinya Dyah Gula hanya bertahan tiga tahun.
Pada 829 M, Rakai Garung menggantikannya. Delapan belas tahun kemudian, Rakai Pikatan Dyah Saladu naik ke singgasana pada 847 M.
Rake Kayuwangi Dyah Lokapala bertakhta delapan tahun kemudian pada 855 M. Dia bertahan selama 30 tahun untuk kemudian diganti Dyah Tagwas pada 885 M.

Berdasarkan informasi prasasti itu, Dyah Tagwas hanya berkuasa tujuh bulan kemudian tersusir (kādəh) dari istana. Dia digantikan Rake Panumwangan Dyah Dawendra yang hanya sanggup mempertahankan kedudukannya dua tahun.
 Pada 887 M, Rake Gurunwangi Dyah Bhadra menggantikannya. Tak sampai sebulan kekuasaannya berakhir. Setelah itu, selama kurang lebih tujuh tahun Mataram tak ada yang memimpin. Baru pada 894 M, Rakai Wungkalhumalang Dyah Jəban bertakhta selama empat tahun. Pada 898 M, Rakai Watukura Dyah Balitung gantian dimahkotai.

  Dari prasasti Wantil diketahui bahwa Rakai Pikatan menganut agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha. Mayoritas sejarawan sepakat bahwa putri tersebut adalah Pramodawardhani. Prasasti Kayumwungan tahun 824 hanya menyebut nama Pramodawardhani dan Samaratungga tanpa menyebut nama Mpu Manuku. Dapat diperkirakan bahwa pada tahun itu Pramodawardhani dan Mpu Manuku belum menikah.

Sementara itu pada prasasti Munduan tahun 807 Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan, padahal pada tahun 824 Pramodawardhani masih menjadi gadis. Ini berarti di antara keduanya terdapat perbedaan usia yang cukup jauh. Mungkin usia Rakai Pikatan Mpu Manuku sebaya dengan mertuanya, yaitu Samaratungga. Dari perkawinan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani diperkirakan lahir Rakai Gurunwangi Dyah Saladu (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (prasasti Wantil). Berkat jasanya dalam menumpas musuh negara bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, Rakai Kayuwangi pun bisa menjadi raja sesudah Rakai Pikatan.

Nama Pramodawardhani ditemukan dalam prasasti Kayumwungan tanggal 26 Maret 824 sebagai putri Maharaja Samaratungga. Menurut prasasti itu, ia meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Bangunan ini umumnya ditafsirkan sebagai Candi Borobudur. Sementara itu, prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur). Sejarawan Dr. De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan dengan “permaisuri”, yaitu Pramodawardhani, karena pada saat itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.





Prasasti Wantil juga menyinggung perkawinan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan Mpu Manuku dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, sementara Mpu Manuku sendiri memeluk agama Hindu Siwa. Pramodawardhani adalah putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun 824. Saat itu yang menjabat sebagai Rakai Patapan adalah Mpu Palar, sedangkan nama Mpu Manuku sama sekali tidak disebut. Mungkin saat itu Pramodawardhani belum menjadi istri Mpu Manuku.

   Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan. Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung. Menurut prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram. Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856M,

Kurang tepat apabila Rakai Kayuwangi disebut sebagai raja Kerajaan Mataram karena menurut prasasti Wantil, saat itu istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, melainkan sudah dipindahkan oleh Rakai Pikatan (raja sebelumnya) ke daerah Mamrati, dan diberi nama Mamratipura. Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah Dyah Lokapala (prasasti Wantil) atau Mpu Lokapala (prasasti Argapura). Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka. Teori populer menyebut nama musuh tersebut adalah Balaputradewa karena pada prasasti Wantil terdapat istilah walaputra. Namun, sejarawan Buchari tidak menjumpai prasasti atas nama Balaputradewa pada situs bukit Ratu Baka, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Adapun makna istilah walaputra adalah “putra bungsu”, yaitu julukan untuk Dyah Lokapala yang berhasil menumpas musuh ayahnya tersebut.

Jadi, pada akhir pemerintahan Rakai Pikatan terjadi pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri kerajaan (Sanjaya). Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala alias Sang Walaputra, sehingga ia mendapat dukungan rakyat untuk naik takhta menggantikan ayahnya. Teori pemberontakan Rakai Walaing ini telah membantah teori populer tentang adanya perang saudara antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan sepeninggal Samarottungga Menurut daftar para raja Kerajaan Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan). Tidak dapat dipastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada tahun 896 ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899 (prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.

Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung. Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.

Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Tiongkok dari Dinasti Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa, saudara raja yang gagah berani”. Dyah Balitung diperkirakan naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih.

Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa. Dyah Tulodong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah anak perempuan Mpu Daksa. Dyah Tulodong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.

  Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodong disebut sebagai putri dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Nama "Layang" sekarang mulai dikaitkan dengan keberadaan Situs Liyangan, berdasarkan kemiripan nama. Dyah Wawa naik takhta menggantikan Dyah Tulodhong. Nama Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja, Mpu Sindok pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong menjabat sebagai Rakai Mahamantri Halu, sedangkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, naik pangkat menjadi Rakai Mahamantri Hino. 


Karena memang putra mahkota medang tampilnya maha mentri hino mpu sendok sebagai maha raja medang menganti kedudukan rakai sumba dyah wawa secara hukum agama dan negara pada saat itu adalah sah. Dan seluruh rakyat dan pemukau agama mendukung penobatanya mpu sendok membangun keraton baru di tamwlang (tembelang) kemudian pindah ke watugaluh (megaluh) yang berada di jombang pada prasasti watugaluh tahun 929M, denggan tegas mpu sendok menyebut kerajaannya sebagai penerus medang bhumi mataram yang berpusat kerajaan di watugaluh dalam satu sisi mpu sendok mengakui penerus kerajaan medang bhumi mataram dan saut sisi mpu sendok memutuskan hubungan darah kekeluargaan dengan wangsa sanjaya yang di tandai dengan membangun wangsa baru isanawangsa sebagai mana yang terkandung nama gelar kerajaannya setelah kemenangannya melawan penyerangan dari tentara sriwijaya malayu sumtra


Di kutib dari berbagai sumber 
di tulis dhimas danan jaya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar