Kerajaan Matarām Kuna
Nama kerajaan tertua yang disebut dalam sumber
prasasti di wilayah Jawa Tengah adalah kerajaan Matarām1 yang lebih dikenal
sebagai kerajaan Matarām Kuna untuk membedakan dengan kerajaan Mataram Islam, dengan
rajanya bernama Sanjaya. Prasasti tersebut adalah prasasti Canggal (654
Saka/732 Masehi), yang ditemukan di halaman percandian di atas gunung Wukir di
Kecamatan Salam, Magelang. Prasasti Canggal memakai huruf Pallawa, berbahasa
Sansekerta, dan mem- bicarakan raja Sanjaya yang beragama Siwa, yang mendirikan
sebuah linga di bukit Sthīranga. Selain Prasasti Canggal, nama Sanjaya disebut
di Prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung tahun
907 Masehi. Dalam Prasasti Mantyasih terdapat daftar nama raja-raja yang
memerintah di Medang (rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu). Dalam daftar
tersebut, Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya disebut pertama, yang kemudian
diikuti oleh sederetan nama raja yang bergelar Śri Mahārāja (Soemadio II,
1993:100 dst). Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya dianggap sebagai pendiri dinasti
Sanjaya (Sanjayavamśa) yang berkuasa di kerajaan Matarām. Namun penelitian yang
merekonstruksi jalannya sejarah Matarām kuna, telah menghasilkan nama Śailendravamśa di samping
Sanjayawamśa. Śailendrawamśa ditemui dalam beberapa prasasti, antara lain dalam
Prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi), Prasasti Kalurak (704 Saka/782 Masehi),
Prasasti Abhayagiriwihara dari bukit Ratu Baka (714 Saka/792 Masehi),
Prasasti Kayumwungan (824 Masehi), dan sebagainya.
Berita prasasti sangatlah penting untuk penelitian arkeologi, namun banyak- nya
jumlah prasasti tidak menjamin dapat mengungkapkan data yang kita harapkan untuk
diketahui. Misalnya perihal kerajaan Matarām Kuna masih banyak masalah yang belum
terungkap
:
1. Siapakan pendiri Sanjayavamśa dan
siapakah pendiri Śailendrawamśa?
2. Ada berapa wangsa-kah di wilayah
Jawa Tengah periode Matarām
Kuna?
3. Benarkan raja kedua dalam daftar
Prasasti Mantyasih yaitu Śri
Mahārāja Panangkaran berganti
agama, yang semula beragama Siwa
beralih memeluk agama Buddha
Mahayana?
Dalam hal ini tidak akan dibicarakan lagi
pendapat-pendapat tersebut, kecuali pendapat Boechari, yang mengemukakan hanya
ada satu dinasti di Matarām Kuna, karena Rakai Panangkaran lengkapnya Rakai
Panangkaran Dyah Śankhara Śri Sangramadhananjaya adalah anak Sanjaya yang
berganti agama dari agama Siwa ke agama Buddha Mahayana. Pendapat Boechari ini
berdasarkan pem bacaannya pada sebuah prasasti yang dipahat di atas batu dan dijadikan koleksi Bapak Adam
Malik. Prasasti berbahasa Sansekerta ini bagian atas rusak sehingga tidak ada
nama prasasti atau pun angka tahunnya. Boechari memberi nama prasasti Śankhara,
sesuai dengan nama anak raja pada prasasti tersebut, dan
usia prasasti diperkirakan antara Prasasti Canggal dan Prasasti Hampran (750
Masehi)
(Soemadio II, 1993:102-103).
Prasasti Śankhara pernah ditranskripsi dan di- terjemahkan
oleh Boechari, tetapi belum diterbitkan.2) Secara garis besar Prasasti Śankhara
membicarakan ayah Śankhara yang sangat patuh kepada gurunya, memberi “emas yang
enam” kepada Śankhara dengan sebuah janji (?) yang harus dipenuhi. Kemudian ayah
Śankhara jatuh sakit selama 8 hari kemudian meninggal. Melihat keadaan itu,
Śankhara menjadi takut pada “guru yang tidak benar” lalu meninggalkan agama
Siwa dan memeluk agama Buddha Mahayana. Menurut Boechari, ayah Śankhara adalah
raja Sanjaya, sedangkan Śankhara sendiri adalah Rakai Panangkaran, ia memindahkan
pusat kerajaannya ke timur. Letak ibu kotanya yang baru, kemungkinan di sekitar
Sragen, di sebelah timur Bengawan Solo atau di daerah Purwodadi/Grobogan. Setelah
itu ia membangun beberapa candi Buddha, yaitu candi Kalasan, Sewu, Plaosan Lor,
dan sebagainya. Dari uraiannya tersebut Boechari telah mengidentifikasikan
Panang- karan dengan “Śailendrawanśatilaka” yang disebut dalam beberapa
prasasti, bahkan menurut Boechari, apabila Panangkaran identik dengan
Śailendravamśatilaka, maka seperti yang tertera dalam Prasasti Nalanda, ia
berputera Samaragravira dan Balaputra dewa, raja Sriwijaya, adalah cucunya (Soemadio
II, 1993:109-110). Pendapat bahwa Rakai Panangkaran berpindah agama, menurut
Boechari tertera dalam Prasasti Śankhara, khususnya bait 3n yang diawali dengan
kalimat:
So ‘yam
tyaktānyabhaktir jagadaśi- vaharāc chamkarāc chamkarākhyah…
Terjemahannya sebagai berikut: “Ia, yang bernama
Śankhara, setelah meninggalkan kebaktian kepada (dewa) yang lain, dari Śankhara
yang melenyapkan ketidak tenteraman di dunia”3).
Pada dasarnya penulis setuju dengan terjemahan
tersebut di atas, hanya ada sedikit perbedaan, sebagai berikut: “Ia yang
bernama Śankhara, yang
kebaktiannya ke yang lain telah ditinggalkan,
daripada Śankhara, Siwa yang menguasai dunia….”4) Dari terjemahan tersebut,
penulis meragukan bahwa Śankhara berpindah agama, apalagi ke agama Buddha
Mahayana. Pendapat ini diperkuat oleh syair pada bait 4, dikatakan setelah ia
mendirikan prasāda untuk Dhātŗ, ia membicarakan moksa yang merupakan kebahagiaan
tertinggi. Moksa diperoleh oleh para vratin (pertapa) yang suci melalui pengetahuan
(jñāna), yang diperoleh dari puteri Dhātŗ (Saraswati ?).
(śreyo
moksān na param adhikam kathyate jñānavidbhir, moksās so’pi vratibhir anaghair
labhyate jñānahetoh , tac ca jñānam vratibhir amalam
labhyate yat prasādād, dhatuh putrī janaya tu(s)tarām
vanditā (n)ah kavitvam).
Konsep moksa tidak dipakai dalam agama Buddha.
Demikian pula pada bait penutup selain Bhiksu dan Sanggha, disebut tokoh/
kelompok lain, yaitu puteri Dhātŗ, vratin, kulapati, raja (nrpatir) pelindung
para Dasyu, sehingga dengan menyebut Buddha dan Bhiksu tidak menjamin raja
beragama Buddha. Bagian ini sebagai penutup prasasti yang mendoakan semua yang
disebut bernasib baik. Perlu dikemukakan disini, pada baris selanjutnya (pada
bait 3) terdapat kata “anŗtagurubhayas”6) yang diartikan “takut pada guru yang
tidak benar” (Soemadio II, 1993:109), kemungkinan terkait dengan janji Śankhara
yang disebut pada awal-awal prasasti. Tidak jelas isi janjinya, kemungkinan
Śankhara berjanji kepada guru mem- buatkan bangunan suci untuk Dhātŗ dengan “emas
yang enam” itu sebagai biayanya, dengan harapan agar ayahnya sembuh?
Tetapi ketika ayahnya meninggal, Śankhara menyalahkan
gurunya, yang disebut anŗtaguru-. Namun kemudian, karena takut pada gurunya, ia
dengan kemauannya sendiri (svātmabuddhes) memenuhi janjinya dengan membuat
prāsāda tersebut. Untuk memperkuat pendapat bahwa Panangkaran bukan raja dari
dinasti Śailendra dan tidak beragama Buddha, akan penulis sampaikan terjemahan
Prasasti Kalasan, prasasti berbahasa Sansekerta,
memakai huruf Pra-Nagari dari tahun 700 Saka/778
Masehi, sebagai berikut:
Namo bhagavatyai āryātārāyai
1. yā tārayatyamitaduhkhabhavādbhi
magnam lokam vilokya vidhivattrividhair
upayaih Sā8) vah surendranaralokavi
bhūtisāram tārā diśatvabhimatam
jagadekatārā
2. āvarjya 9) mahārājam dyāh pañcapanam
panamkaranām Śailendra rājagurubhis
tārābhavanam hi kāritam śrīmat
3. gurvājñayā kŗtajñais 10)
tārādevī kŗtāpi
tad bhavanam vinayamahāyānavidām
bhavanam cāpyāryabhiksūnām
4. pangkuratavānatīripanāmabhir
ādeśaśastribhīrājñah Tārābhavanam
kāritam idam api cāpy āryabhiksūnam
5. rājye pravarddhamāne 11)
rājñāh
śailendravamśatilakasya
śailendrarajagurubhis tārābhavanam
kŗtam kŗtibhih
6. śakanŗpakālātītair varsaśataih saptabhir
mahārājah akarod gurupūjārtham 12)
tārābhavanam panamkaranah
7. grāmah kālasanāmā dattah samghāyā
sāksinah kŗtvā pankuratavānatiripa
desādhyaksān mahāpurusān
8. bhuradaksineyam 13) atulā dattā
samghāyā rājasimhena śailendrarajabhūpair anuparipālyārsantatyā
9. sang pangkurādibhih sang
tāvānakādibhih sang tīripādibhih
pattibhiśca sādubhih , api ca,
10.sarvān evāgāminah pārthivendrān bhūyo
bhūyo yācate rājasimhah, sāmānyoyam
dharmmasetur narānām kāle kāle
pālanīyo bhavadbhih
11.anena punyena vīhārajena pratītya jāta
14)arthavibhāgavijñāh bhavantu sarve
tribhavopapannā janājinānām
anuś𝑎sanajñāh
12.kariyānapanamkaranah śrimān
abhiyācate bhāvinŗpān, bhūyo bhūyo
vidhivad vīhāraparipālan ārtham iti.
Terjemahan:
Hormat untuk Bhagavatī Ārya Tārā Setelah
melihat mahluk2 di dunia yang
tenggelam dalam kesengsaraan, ia menyeberangkan
(dengan) Tiga Pengetahuan yang benar, Ia Tarā yang menjadi satu-satunya bintang
pedoman arah di dunia dan (tempat) dewa-dewa. Sebuah bangunan suci untuk Tārā
yang indah benar2 telah disuruh buat oleh guru- guru raja Śailendra, setelah
memperoleh persetujuan Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana Dengan perintah
guru, sebuah bangunan suci untuk Tārā telah didirikan, dan demikian pula sebuah
bangunan untuk para bhiksu yang mulia ahli dalam ajaran Mahāyana, telah
didirikan oleh para ahli Bangunan suci Tārā dan demikian juga itu (bangunan)
milik para bhiksu yang mulia telah disuruh dirikan oleh para pejabat raja, yang
disebut Pangkura, Tavana,
Tiripa. Sebuah bangunan suci Tārā telah didirikan
oleh guru-guru raja Śailendra di kerajaan Permata Wangsa Śailendra yang sedang
tumbuh Mahārāja Panangkarana mendirikan bangunan
suci Tārā untuk menghormati guru pada tahun yang telah berjalan 700 tahun. Desa
bernama Kalasa telah diberikan untuk Samgha setelah memanggil para saksi orang orang
terkemuka penguasa desa yaitu Pangkura, Tavana, Tiripa. Sedekah “bhura” yang
tak ada bandingannya diberikan untuk Sangha oleh “raja yang bagaikan singa” (rājasimha-)
oleh raja-raja dari wangsa Śailendra dan para penguasa selanjutnya berganti-ganti.
Oleh para Pangkura dan pengikutnya, sang Tavana dan pengikutnyam sang Tiripa dan
pengikutnya, oleh para prajurit, dan para pemuka agama, kemudian selanjutnya, “Raja bagaikan singa” (rājasimhah) minta
berulang-ulang kepada raja-raja yang akan datang supaya Pengikat Dharma agar
dilindungi oleh mereka yang ada selama-lamanya. Baiklah, dengan menghibahkan
vihara, segala pengetahuan suci, Hukum Sebab Akibat, dan kelahiran di tiga
dunia (sesuai) ajaran Buddha, dapat difahami. Kariyana Panangkarana minta
berulang ulang kepada yang mulia raja-raja yang akan datang senantiasa
melindungi vihara yang penting ini sesuai peraturan. Berdasarkan
terjemahan prasasti tersebut, dalam Prasasti Kalasan terdapat dua orang raja,
yaitu Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana dan raja Śailendravamsatilaka
(permata wangsa Śailendra). Bahwa ada dua orang raja pada Prasasti Kalasan,
telah dikemukakan oleh Van Naerssen (1947) dan J.G.de Casparis (1950). Menurut
mereka, Rakai Panangkaran adalah raja bawahan raja
Śailendravamsatilaka, yang disuruh mem- bangun
Tārābhavanam untuk raja Śailendra (Sumadio II, 1984:89-90).
Namun sebalik- nya, menurut pendapat penulis,
justru Śailendravansatilaka-lah raja bawahan Panangkaran, dengan alasan sebagai
berikut: Rakai Panangkaran bergelar “Śri Mahārāja”, sedangkan Śailendravam- śatilaka
bergelar “rāja” saja Tārābhavanam didirikan “di kerajaan Śailendravamśatilaka
yang sedang tumbuh/ berkembang” (5. rājye pravard
dhamane rājñah śailendravamśatila-kasya ….). Untuk
mendirikan bangunan suci itu pun raja Śailendra mengutus guru-gurunya minta
perkenan Śri Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana. Kalau Panangkaran raja
bawahannya, mengapa ia harus minta ijin pada Panangkaran
terlebih dulu?
Usaha guru-guru itu disetujui oleh Panangkaran
untuk tujuan
“gurupūjārtham” yang berarti “bertujuan
menghormat Guru”. Dengan
demikian persetujuan Panangkaran untuk
mendirikan Tārābhavanam adalah “untuk menghormat guru” (guru-pūjārtham) yang
menghadap Panang-karan
untuk minta perkenan mendirikan
Tarabhavanam, dan bukan
karena Panangkaran beragama Buddha Maha-
yana yang berkepentingan dengan pemujaan di
Tārābhavanam tersebut. Bahwa seorang raja bawahan maupun rakyat tidak harus
mempunyai agama yang sama dengan rajanya, dibuktikan
oleh banyaknya sisa-sisa candi Saiwa di sekitar
candi Borobudur. 15)
Dari prasasti Kalasan ini kita ketahui raja
Śailendravamśatilaka, mungkin baru datang atau baru mendirikan kerajaannya, dan
menjadi raja bawahan Śri Mahārāja Panangkaran, seorang raja Sanjayavamśa., anak
raja Sanjaya. Selanjutnya Raja Śailendravamśa- tilaka disebut dalam beberapa
prasasti, yaitu
Prasasti Kelurak (782 Masehi),
Prasasti
Abhayagirivihara di bukit Ratu Baka (792 Masehi),
Prasasti Kayumwungan (824 Masehi),
Prasasti
Ligor B (775 Masehi), dan
Prasasti Nalanda (abad 9).
Dalam Prasasti Kelurak, Śailendravamsatilaka
yang bergelar Śri Wirawairimathana (pembunuh musuh yang gagah berani), ia
mendirikan sebuah bangunan suci untuk Mañjusri atau Mañjugosha, diresmikan oleh
gurunya pendeta Kumaragosha yang datang dari Gaudidvipa. Bangunan suci yang
disebut dalam Prasasti Kelurak adalah candi Sewu, walaupun bukan bentuknya yang
sekarang, karena candi Sewu dibangun tiga kali (Kusen, 1991-1992:57; Santiko,
2010). Rupanya raja Śailendravamśatilaka tahun 782 keadaannya sudah lebih baik Dari
pada saat mendirikan Tārābhavanam di “grāma-kālasanāma--” tahun 778 Masehi. Pada
Prasasti Nalanda dari raja Devapaladeva dari abad 9, kita jumpai nama Śailendravamśatilaka
yang bergelar Śri Viravairimathana. Ia raja Jawa, berputera Samaratunga yang
kawin dengan Tārā, anak raja Dharmasetu dari Somawamśa. Dari pernikahan ini
lahirlah raja Balaputradewa, raja Sriwijaya, yang beragama Buddha, dan telah
mendirikan sebuah vihara di Nalanda (Sumadio II, 1993:112).
Dengan adanya pendapat 2 dinasti di Jawa
tengah, maka Samaratungga bukan anak Panangkaran, melainkan anak raja Śailendravamśatilaka
yang memerintah di Jawa. Bagaimana kelanjutan hubungan keduadinasti raja
tersebut, hingga kini berbagai penelitian masih mengikuti pendapat De Casparis
tentang terjadinya hubungan pernikahan antara Rakai Pikatan (Sanjaya-vamśa)
dengan Pramodhawarddhani, puteri Samarotungga (De Casparis 1956).
Tinjauan Prasasti Kalasan
Hariani Santiko
Departemen Arkeologi FIB UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar