Prasasti Poh [poh=pauh, mangga,
Magnifera] terdiri atas dua lempengan [lembar] tembaga, berukuran panjang 50
cm, dan lebar 20,5 cm. Tergali di desa Plembon, Kel. Randusari,
Gondangwinangun, Klaten. Semula disimpan oleh Pangeran Hario Hadiwidjojo di
Surakarta. Juga disebut prasasti Randusari I. Transkripsi [alih aksara] dan
terjemahan selengkapnya di kerjakan oleh Dr. W. F. Stutterheim dalam buku
Inscripties van Nederlandsch Indie, aflevering I [Kon. Bat. Genootschap van
Kunsten en Wetenscappen, Batavia 1940], dengan judul ‘Oorkonde van Balitung uit
905 A. D. [Randoesari I].
Isi pokok prasasti sebagai berikut :
1. Menyebut nama raja Sri Maharaja Rake
Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya
Mahasambhu,
2. Prasasti di tulis [ditatah] pada
tahun 827 saka, bulan Srawana, tgl. 13 paro-terang [suklapaksa], paringkelan
Paniruan [sadwara], pasaran Pon [pancawara], hari Budhawara [saptawara].
Kalimat selengkapnya berbunyi :
Swasti Sakawarmatita 827 srawanamama
tithi trayodasi. suklapaksa. paniruan.
pon. budhawara.
Bahkan masih ditambah dengan letak
planet di sebelah timur laut [purwwasadanaksatra],
nama dewata Aswi [aswidewata] dan nama
yoga Wiskambha [wiskambhayoga]. Perlu dijelaskan disini bahwa sadwara yaitu
minggu yang berhari enam, pancawara minggu yang berhari lima [pasaran], dan
saptawara minggu yang berhari tujuh. Karena Budhawara berarti Rabu, dan Pon
sama dengan pasaran pon sekarang, maka prasasti Poh ditulis pada hari Rabu Pon,
tanggal 13 [trayodasi] bulan Srawana [Kasa, Juli-Agustus]. Unsur penanggalan
[kalender] tersebut menurut perhitungan almarhum Louis-Charles Damais [sarjana
Perancis bidang Epigrafi] bertepatan dengan tanggal 17 Juli 905 M.
3. Menyebut nama desa Poh yang
ditetapkan oleh raja Balitung menjadi daerah sima [desa perdikan, daerah bebas
pajak] untuk keperluan bangunan suci di Pastika [paknan yan sinususk caitya
mahaywa silunglung sang dewata lumah i pastika].
4. Menyebut nama desa Mantyasih [baris
13 lempengan 1b], nama desa Galang [baris 6 lempengan 2b] dan nama desa
Glangglang [baris 5, lempengan 2a].
5. Menyebut nama-nama desa lainnya, nama
para pejabat, penduduk desa, dan pemberian hadiah [pasakpasak] baik kepada para
pejabat tinggi maupun rakyat jelata. Juga disebut saji-sajian yang di gunakan
dalam upacara manusuk sima [menetapkan sebuah desa menjadi daerah bebas pajak].
II. PRASASTI MANTYASIH I.
Tembaga Mantyasih terdiri atas dua
lempengan tembaga berukuran panjang 49,3 cm dan lebar 22,2 cm. Sekarang
disimpan di Museum Sriwedari [Radya Pustaka] Surakarta. Dalam sejarah juga
terkenal bernama tembaga Kedu. Transkripsi dan terjemahan serta uraian lengkap
pernah ditulis oleh almarhum Dr. W. F. Stutterheim [sarjana Belanda] dalam
karangannya berjudul ‘Een belangrijke Oorkonde uit de Kedoe’ [dalam TBG, thn.
1927, hlm. 172-215]. Selain tembaga Mantyasih I juga pernah ditemukan prasasti
batu yang disebut dengan Mantyasih II [dari Jawa Timur] dan juga selembar
tembaga bertulis yang disebut Mantyasih III. Prasasti Mantyasih III berasal
dari seorang penduduk desa Ngadirejo [Kedu] bernama Li Djok Ban dan sekarang
tersimpan di Museum Jakarta. Prasasti Mantyasih I, II, dan III semuanya berasal
dari raja Balitung [tahun 907 M].
Isi pokok prasasti Mantyasih I [yang
paling lengkap] sebagai berikut :
1. Menyebut nama raja Rake Watukura Dyah
Balitung.
2. Menyebut angka tahun 829 Saka, bulan
Caitra [Kesanga, Maret-April], tanggal 11 paro-gelap, paringkelan Tungle,
pasaran Umanis, hari Sanaiscara [Sabtu], bintang Purwwabhadrawada, dewa
Ajapada, yoga Indra.
Dalam bahasa Jawa Kuno lengkapnya berbunyi
:
Swasti Sakawarsatita 829 caitramasa.
tithi akadasi krsnapaksa. tu. indrayoga.
Menurut perhitungan L. C. Damais tarih
prasasti itu bertepatan dengan tgl. 11 April 907 M. [hari Sabtu Legi/Umanis].
3. Menyebut nama desa Mantyasih yang
ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung menjadi desa perdikan
yang dipimpin oleh pejabat patih secara bergiliran [sima kapatihana]. Jumlah
patih tersebut sebanyak 5 orang dan masing-masing mendapat giliran setiap 3
tahun [lawasnya tlung tahun sowang]. Nama para patih Mantyasih, ialah :
1. Pu Sna [ayah Ananta],
2. Pu Kola [ayah Dini],
3. Pu Punjeng
4. Pu Kara [ayah Labdha],
5.Pu Sudraka [ayah Kayut].
4. Menyebut hutan di gunung Susundara
dan Wukir Sumwing [sekarang Sundara-Sumbing].
5. Alasan [sambandha] mengapa desa
Mantyasih di tetapkan menjadi sima kapatihana, karena penduduk desa telah
banyak berjasa kepada raja dan negara [sambandhanyan
inanugrahan sangka yan makwaih buatthaji
iniwonya i sri maharaja], yaitu :
A. Sewaktu Raja Balitung melangsungkan perkawinan [kala ni warangan
haji],
B. Penduduk Mantyasih mempunyai kewajiban melakukan kebaktian
[memelihara, memperbaiki] bangunan suci atau candi di Malangkuseswara,
Puteswara, Kutusan, Silabhedeswara [candi Selagriyo ?], dan Tuleswara setiap
tahun [ing pratiwarsa]. Kalimat singkat dalam prasasti berbunyi :
lain sangke kapujan bhatara i
malangkuseswara, ing puteswar, i kutusan, i silabhedeswara, i tuleswara, ing
pratiwarsa.
C.
Penduduk Mantyasih di bawah pimpinan para patih mampu menghilangkan rasa takut
penduduk Kuning Kagunturan dari gangguan para penjahat dan juga mengamankan
jalan raya di daerah tersebut dari gangguan para perusuh [muang sangka yan
antaralika katakutan ikanang wanua ing kuning. sinarabharanta ikanang patih
rumakea ikanang hawan].
D.
Menyebut daftar nama [ur tan nama] raja-raja Mataram yang pernah bertahta di
Mdang di Pohpitu, yaitu :
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
3. S. M. Rakai Panunggalan,
4. S. M. Rakai Warak,
5. S. M. Rakai Garung,
6. S. M. Rakai Pikatan,
7. S. M. Rakai Kayuwangi,
8. S. M. Rakai Watuhumalang.
E. Larangan untuk para pemungut pajak
[sang mangilala drabya haji] memasuki daerah Mantyasih karena telah ditetapkan
menjadi daerah sima [swatantra].
F. Kutukan [sapatha] untuk siapa saja
yang berani melanggar keputusan [s. k.] raja, misalnya akan menemui
kesengsaraan, kalo masuk hutan akan di patuk ular berbisa [yan uamaraya ning
alas hana ula umatukaya].
III. PRASASTI GILIKAN I.
Tempat temuan prasasti Gilikan tidak
jelas. Demikian pula prasasti yang ditemukan juga tidak lengkap. Angka tahun
dan nama raja tidak diketahui [karena tidak lengkap]. Sekarang tersimpan di
Museum Jakarta. L. C. Damais menduga mungkin tembaga Gilikan I berasal dari
jaman Raja Sindok sekitar tahun 924 M.
Isi pokok tembaga Gilikan I sebagai
berikut :
1. Menyebut sebidang sawah seluas 4
tampah yang dijadikan ‘punya’ [persembahan suci] untuk Bhatara di Glam [lmah
sawah punya sri maharaja sima bhatara i glam].
2. Kutukan kepada siapa saja yang berani
menentang keputusan raja [pemerintah],
3. Menyebut pejabat wahuta [jabatan
setelah patih], patih dan kepala desa [rama] desa Gilikan,
4. Menyebut Samgat Lua Pu Gunottama dan
Samgat Pamasaran Pu Sandhya,
5. Kutukan [sapatha] kepada siapa saja
yang berani melanggar peraturan pemerintah [sbit wtangnya].
Nama tempat [toponim] dalam Prasasti.
Sudah cukup jelas bahwa sumber prasasti
menyebut beberapa nama desa [daerah] yang masih dikenal hingga sekarang. Tetapi
harus diketahui bahwa luas wilayah [daerah] tersebut tidak harus tetap sama.
Prasasti Poh menyebut nama desa Mantyasih, Galang dan Glangglang. Selanjutnya
tembaga Mantyasih I menyebut nama desa perdikan Mantyasih dan Prasasti Gilikan
I menyebut Bhatara di Glam.
Kalau disimpulkan maka ketiga buah prasasti
tersebut menyebut nama desa :
a. Mantyasih,
b. Galang [rupa-rupanya sama dengan
Glam],
c. Glangglang.
Apabila dilihat peta topografi [sheet
47/XL-C0] ternyata di kota Magelang terdapat atau terletak nama-nama desa
seperti Magelang Pasar, Magelang Utara, Magelang Selatan, Magelang, Pelikan
[Plikon], Dumpoh.
Meskipun peta topografi tidak menyebut
nama Meteseh, tetapi di bagian barat kota Magelang [sebelah timur Kali Progo]
sampai sekarang masih terletak kampung Meteseh [Kal./Kec./Kota Magelang]. Kampung
Meteseh sekarang terdiri atas beberapa bagian [blok], yaitu :
1. Krajan,
2. Kidul,
3. Lor,
4. Tengah,
5. Jayengan.
Di daerah Surakarta sampai sekarang juga
terdapat Desa Matesih. Tetapi sudah cukup jelas bahwa yang di maksud dengan
Mantyasih pada jaman dahulu, sama dengan Mateseh di kota Magelang sekarang. Ini
terbukti bahwa prasasti Mantyasih juga menyebut nama hutan di gunung Susundara
dan Sumwing.
Demikian pula dalam prasasti Mantyasih
juga disebut nama desa Wadung Poh [wanua i wadung poh] dan desa Kdu. Nama
Wadung Poh kemudian disingkat menjadi Dung Poh, dan akhirnya berubah ucapannya
menjadi Dumpoh [sebelah utara kota Magelang sekarang]. Demikian pula nama Kdu
akhirnya berubah menjadi desa Kedu [sebelah utara Temanggung].
Selain itu juga disebut dalam prasasti
bahwa desa Mantyasih yang dipimpin oleh 5 orang pejabat patih secara bergantian
[setiap 3 tahun ganti pimpinan], juga mampu dan berhasil menghilangkan rasa
takut [katakutan ikanang wanua ing kuning] dan mengamankan jalan raya [rumaksa
ikanang hawan] desa Kuning Kagunturan. Menarik perhatian bahwa disebelah barat
laut kota Magelang [Meteseh] sampai sekarang masih terletak desa Kembang Kuning
dan Guntur [Kal. Rejosari, Kec. Bandongan]. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut
bahwa desa Kembang Kuning dan Guntur itulah yang dimaksud dalam prasasti
Mantyasih.
Dengan demikian sudah cukup jelas bahwa
yang dimaksud dengan Mantyasih bukannya Matesih di Sala [Surakarta], tetapi
Mateseh di kota Magelang. Pendek kata nama Mantyasih sudah disebut dalam prasasti
tahun 905 M dan 907 M.
Dari segi etimologi perkataan Mantyasih
berasal dari kata Manti [panti, sangat, penuh] dan sih [cinta, kasih]. Dengan
demikian nama Mantyasih [Mateseh] berarti ‘cinta kasih yang sempurna, penuh.
Cf. serviam in caritato : pengabdian dalam cinta kasih, atau In omnibus Caritas
: Dalam segalanya cinta kasih.
Selanjutnya nama Galang [Glam] dan
Glangglang mungkin berubah menjadi Gelang atau Magelang sekarang [ awalan ma-].
Lebih-lebih apabila di ingat bahwa nama Galang [Glam] dan Glangglang memang
disebut sejaman dengan nama Mantyasih. Memang kemungkinan nama itu lain berubah
menjadi Gilang sekarang.
Dalam bahasa Jawa Kuno nama glang,
galang berarti lingkaran [cf. mandala dengan lingga di tengahnya, atau gunung
Tidar yang menjadi paku titik tengah Pulau Jawa], cemerlang [cf. bahasa bali :
galang bulan : terang bulan].
Sudah saya terangkan dalam makalah
pertama [18 Juni 1988] bahwa perkataan tidar berarti : sinar, pendadaran.
Pertanyaan yang masih sulit di jawab yaitu nama Gilikan yang tidak [belum]
diketemukan di daerah sekitar Magelang. Apakah nama itu berubah menjadi
Pelikan, atau Plikon sekarang ? . Entahlah.
Berdasarkan data tersebut di atas maka
hari jadi Magelang dapat di telusuri atau di teliti berdasarkan Prasasti Poh
[17 Juli 905 M.] dan Prasasti Mantyasih [11 April 907 M.]
Identitas Daerah [Jatidiri]
Masalah jatidiri daerah Magelang masih
dapat diteliti lebih lanjut. Tetapi berdasarkan data prasasti Mantyasih I
setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa penduduk Magelang [Mantyasih] sejak awal
abad X Masehi [sekitar tahun 900 Masehi] sudah mempunyai identitas [jatidiri]
yang cukup menarik dan patut di banggakan, yaitu :
1. Sifat setia dan bakti kepada pimpinan
[Sri maharaja]
2. Berbakti kepada Tuhan [Bhtara di
beberapa buah bangunan suci, candi]
3. Mampu mengamankan jalan raya [hawan]
dan menghilangkan rasa takut penduduk Kuning Kagunturan.
4. Gunung Tidar di Magelang apabila di
kaitkan dengan legenda atau kepercayaan penduduk melambangkan titik tengah atau
pusat suatu daerah. Bahkan juga di anggap sebagai paku pulau Jawa.
5. Penduduk Mantyasih [Magelang] sejak
jaman dahulu selalu berhubungan atau kontak dengan penduduk lain. Hal ini
disebabkan letak Mantyasih [Magelang] di tengah-tengah jalan raya yang
menghubungkan dataran tinggi Dieng [pusat ziarah, siddhayatra atau tirthayatra]
dengan daerah di Jawa timur [Pranaraga]. Jalan raya itu rupa-rupanya membentang
antara dieng, Wonosobo, Parakan, Magelang, Yogyakarta, Prambanan, Wonogiri dan
Ponorogo [Pranaraga].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar