Selasa, 04 Agustus 2020

. PRASASTI POH


 .

Prasasti Poh [poh=pauh, mangga, Magnifera] terdiri atas dua lempengan [lembar] tembaga, berukuran panjang 50 cm, dan lebar 20,5 cm. Tergali di desa Plembon, Kel. Randusari, Gondangwinangun, Klaten. Semula disimpan oleh Pangeran Hario Hadiwidjojo di Surakarta. Juga disebut prasasti Randusari I. Transkripsi [alih aksara] dan terjemahan selengkapnya di kerjakan oleh Dr. W. F. Stutterheim dalam buku Inscripties van Nederlandsch Indie, aflevering I [Kon. Bat. Genootschap van Kunsten en Wetenscappen, Batavia 1940], dengan judul ‘Oorkonde van Balitung uit 905 A. D. [Randoesari I].

Isi pokok prasasti sebagai berikut :
1. Menyebut nama raja Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya
Mahasambhu,

2. Prasasti di tulis [ditatah] pada tahun 827 saka, bulan Srawana, tgl. 13 paro-terang [suklapaksa], paringkelan Paniruan [sadwara], pasaran Pon [pancawara], hari Budhawara [saptawara].
Kalimat selengkapnya berbunyi :
Swasti Sakawarmatita 827 srawanamama
tithi trayodasi. suklapaksa. paniruan. pon. budhawara.
Bahkan masih ditambah dengan letak planet di sebelah timur laut [purwwasadanaksatra],
nama dewata Aswi [aswidewata] dan nama yoga Wiskambha [wiskambhayoga]. Perlu dijelaskan disini bahwa sadwara yaitu minggu yang berhari enam, pancawara minggu yang berhari lima [pasaran], dan saptawara minggu yang berhari tujuh. Karena Budhawara berarti Rabu, dan Pon sama dengan pasaran pon sekarang, maka prasasti Poh ditulis pada hari Rabu Pon, tanggal 13 [trayodasi] bulan Srawana [Kasa, Juli-Agustus]. Unsur penanggalan [kalender] tersebut menurut perhitungan almarhum Louis-Charles Damais [sarjana Perancis bidang Epigrafi] bertepatan dengan tanggal 17 Juli 905 M.

3. Menyebut nama desa Poh yang ditetapkan oleh raja Balitung menjadi daerah sima [desa perdikan, daerah bebas pajak] untuk keperluan bangunan suci di Pastika [paknan yan sinususk caitya mahaywa silunglung sang dewata lumah i pastika].

4. Menyebut nama desa Mantyasih [baris 13 lempengan 1b], nama desa Galang [baris 6 lempengan 2b] dan nama desa Glangglang [baris 5, lempengan 2a].

5. Menyebut nama-nama desa lainnya, nama para pejabat, penduduk desa, dan pemberian hadiah [pasakpasak] baik kepada para pejabat tinggi maupun rakyat jelata. Juga disebut saji-sajian yang di gunakan dalam upacara manusuk sima [menetapkan sebuah desa menjadi daerah bebas pajak].


II. PRASASTI MANTYASIH I.
Tembaga Mantyasih terdiri atas dua lempengan tembaga berukuran panjang 49,3 cm dan lebar 22,2 cm. Sekarang disimpan di Museum Sriwedari [Radya Pustaka] Surakarta. Dalam sejarah juga terkenal bernama tembaga Kedu. Transkripsi dan terjemahan serta uraian lengkap pernah ditulis oleh almarhum Dr. W. F. Stutterheim [sarjana Belanda] dalam karangannya berjudul ‘Een belangrijke Oorkonde uit de Kedoe’ [dalam TBG, thn. 1927, hlm. 172-215]. Selain tembaga Mantyasih I juga pernah ditemukan prasasti batu yang disebut dengan Mantyasih II [dari Jawa Timur] dan juga selembar tembaga bertulis yang disebut Mantyasih III. Prasasti Mantyasih III berasal dari seorang penduduk desa Ngadirejo [Kedu] bernama Li Djok Ban dan sekarang tersimpan di Museum Jakarta. Prasasti Mantyasih I, II, dan III semuanya berasal dari raja Balitung [tahun 907 M].

Isi pokok prasasti Mantyasih I [yang paling lengkap] sebagai berikut :

1. Menyebut nama raja Rake Watukura Dyah Balitung.

2. Menyebut angka tahun 829 Saka, bulan Caitra [Kesanga, Maret-April], tanggal 11 paro-gelap, paringkelan Tungle, pasaran Umanis, hari Sanaiscara [Sabtu], bintang Purwwabhadrawada, dewa Ajapada, yoga Indra.
Dalam bahasa Jawa Kuno lengkapnya berbunyi :
Swasti Sakawarsatita 829 caitramasa. tithi akadasi krsnapaksa. tu. indrayoga.
Menurut perhitungan L. C. Damais tarih prasasti itu bertepatan dengan tgl. 11 April 907 M. [hari Sabtu Legi/Umanis].

3. Menyebut nama desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung menjadi desa perdikan yang dipimpin oleh pejabat patih secara bergiliran [sima kapatihana]. Jumlah patih tersebut sebanyak 5 orang dan masing-masing mendapat giliran setiap 3 tahun [lawasnya tlung tahun sowang]. Nama para patih Mantyasih, ialah :
1. Pu Sna [ayah Ananta],
2. Pu Kola [ayah Dini],
3. Pu Punjeng
4. Pu Kara [ayah Labdha],
5.Pu Sudraka [ayah Kayut].
4. Menyebut hutan di gunung Susundara dan Wukir Sumwing [sekarang Sundara-Sumbing].
5. Alasan [sambandha] mengapa desa Mantyasih di tetapkan menjadi sima kapatihana, karena penduduk desa telah banyak berjasa kepada raja dan negara [sambandhanyan
inanugrahan sangka yan makwaih buatthaji iniwonya i sri maharaja], yaitu :
   
    A. Sewaktu Raja Balitung melangsungkan perkawinan [kala ni warangan haji],
    B. Penduduk Mantyasih mempunyai kewajiban melakukan kebaktian [memelihara, memperbaiki] bangunan suci atau candi di Malangkuseswara, Puteswara, Kutusan, Silabhedeswara [candi Selagriyo ?], dan Tuleswara setiap tahun [ing pratiwarsa]. Kalimat singkat dalam prasasti berbunyi :
lain sangke kapujan bhatara i malangkuseswara, ing puteswar, i kutusan, i silabhedeswara, i tuleswara, ing pratiwarsa.
  C. Penduduk Mantyasih di bawah pimpinan para patih mampu menghilangkan rasa takut penduduk Kuning Kagunturan dari gangguan para penjahat dan juga mengamankan jalan raya di daerah tersebut dari gangguan para perusuh [muang sangka yan antaralika katakutan ikanang wanua ing kuning. sinarabharanta ikanang patih rumakea ikanang hawan].
  D. Menyebut daftar nama [ur tan nama] raja-raja Mataram yang pernah bertahta di
Mdang di Pohpitu, yaitu :

1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
3. S. M. Rakai Panunggalan,
4. S. M. Rakai Warak,
5. S. M. Rakai Garung,
6. S. M. Rakai Pikatan,
7. S. M. Rakai Kayuwangi,
8. S. M. Rakai Watuhumalang.


E. Larangan untuk para pemungut pajak [sang mangilala drabya haji] memasuki daerah Mantyasih karena telah ditetapkan menjadi daerah sima [swatantra].

F. Kutukan [sapatha] untuk siapa saja yang berani melanggar keputusan [s. k.] raja, misalnya akan menemui kesengsaraan, kalo masuk hutan akan di patuk ular berbisa [yan uamaraya ning alas hana ula umatukaya].



III. PRASASTI GILIKAN I.
Tempat temuan prasasti Gilikan tidak jelas. Demikian pula prasasti yang ditemukan juga tidak lengkap. Angka tahun dan nama raja tidak diketahui [karena tidak lengkap]. Sekarang tersimpan di Museum Jakarta. L. C. Damais menduga mungkin tembaga Gilikan I berasal dari jaman Raja Sindok sekitar tahun 924 M.

Isi pokok tembaga Gilikan I sebagai berikut :
1. Menyebut sebidang sawah seluas 4 tampah yang dijadikan ‘punya’ [persembahan suci] untuk Bhatara di Glam [lmah sawah punya sri maharaja sima bhatara i glam].

2. Kutukan kepada siapa saja yang berani menentang keputusan raja [pemerintah],

3. Menyebut pejabat wahuta [jabatan setelah patih], patih dan kepala desa [rama] desa Gilikan,

4. Menyebut Samgat Lua Pu Gunottama dan Samgat Pamasaran Pu Sandhya,

5. Kutukan [sapatha] kepada siapa saja yang berani melanggar peraturan pemerintah [sbit wtangnya].

Nama tempat [toponim] dalam Prasasti.
Sudah cukup jelas bahwa sumber prasasti menyebut beberapa nama desa [daerah] yang masih dikenal hingga sekarang. Tetapi harus diketahui bahwa luas wilayah [daerah] tersebut tidak harus tetap sama. Prasasti Poh menyebut nama desa Mantyasih, Galang dan Glangglang. Selanjutnya tembaga Mantyasih I menyebut nama desa perdikan Mantyasih dan Prasasti Gilikan I menyebut Bhatara di Glam.
Kalau disimpulkan maka ketiga buah prasasti tersebut menyebut nama desa :
a. Mantyasih,
b. Galang [rupa-rupanya sama dengan Glam],
c. Glangglang.

Apabila dilihat peta topografi [sheet 47/XL-C0] ternyata di kota Magelang terdapat atau terletak nama-nama desa seperti Magelang Pasar, Magelang Utara, Magelang Selatan, Magelang, Pelikan [Plikon], Dumpoh.
Meskipun peta topografi tidak menyebut nama Meteseh, tetapi di bagian barat kota Magelang [sebelah timur Kali Progo] sampai sekarang masih terletak kampung Meteseh [Kal./Kec./Kota Magelang]. Kampung Meteseh sekarang terdiri atas beberapa bagian [blok], yaitu :

1. Krajan,
2. Kidul,
3. Lor,
4. Tengah,
5. Jayengan.
Di daerah Surakarta sampai sekarang juga terdapat Desa Matesih. Tetapi sudah cukup jelas bahwa yang di maksud dengan Mantyasih pada jaman dahulu, sama dengan Mateseh di kota Magelang sekarang. Ini terbukti bahwa prasasti Mantyasih juga menyebut nama hutan di gunung Susundara dan Sumwing.

Demikian pula dalam prasasti Mantyasih juga disebut nama desa Wadung Poh [wanua i wadung poh] dan desa Kdu. Nama Wadung Poh kemudian disingkat menjadi Dung Poh, dan akhirnya berubah ucapannya menjadi Dumpoh [sebelah utara kota Magelang sekarang]. Demikian pula nama Kdu akhirnya berubah menjadi desa Kedu [sebelah utara Temanggung].
Selain itu juga disebut dalam prasasti bahwa desa Mantyasih yang dipimpin oleh 5 orang pejabat patih secara bergantian [setiap 3 tahun ganti pimpinan], juga mampu dan berhasil menghilangkan rasa takut [katakutan ikanang wanua ing kuning] dan mengamankan jalan raya [rumaksa ikanang hawan] desa Kuning Kagunturan. Menarik perhatian bahwa disebelah barat laut kota Magelang [Meteseh] sampai sekarang masih terletak desa Kembang Kuning dan Guntur [Kal. Rejosari, Kec. Bandongan]. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa desa Kembang Kuning dan Guntur itulah yang dimaksud dalam prasasti Mantyasih.

Dengan demikian sudah cukup jelas bahwa yang dimaksud dengan Mantyasih bukannya Matesih di Sala [Surakarta], tetapi Mateseh di kota Magelang. Pendek kata nama Mantyasih sudah disebut dalam prasasti tahun 905 M dan 907 M.
Dari segi etimologi perkataan Mantyasih berasal dari kata Manti [panti, sangat, penuh] dan sih [cinta, kasih]. Dengan demikian nama Mantyasih [Mateseh] berarti ‘cinta kasih yang sempurna, penuh. Cf. serviam in caritato : pengabdian dalam cinta kasih, atau In omnibus Caritas : Dalam segalanya cinta kasih.

Selanjutnya nama Galang [Glam] dan Glangglang mungkin berubah menjadi Gelang atau Magelang sekarang [ awalan ma-]. Lebih-lebih apabila di ingat bahwa nama Galang [Glam] dan Glangglang memang disebut sejaman dengan nama Mantyasih. Memang kemungkinan nama itu lain berubah menjadi Gilang sekarang.
Dalam bahasa Jawa Kuno nama glang, galang berarti lingkaran [cf. mandala dengan lingga di tengahnya, atau gunung Tidar yang menjadi paku titik tengah Pulau Jawa], cemerlang [cf. bahasa bali : galang bulan : terang bulan].
Sudah saya terangkan dalam makalah pertama [18 Juni 1988] bahwa perkataan tidar berarti : sinar, pendadaran. Pertanyaan yang masih sulit di jawab yaitu nama Gilikan yang tidak [belum] diketemukan di daerah sekitar Magelang. Apakah nama itu berubah menjadi Pelikan, atau Plikon sekarang ? . Entahlah.

Berdasarkan data tersebut di atas maka hari jadi Magelang dapat di telusuri atau di teliti berdasarkan Prasasti Poh [17 Juli 905 M.] dan Prasasti Mantyasih [11 April 907 M.]
Identitas Daerah [Jatidiri]
Masalah jatidiri daerah Magelang masih dapat diteliti lebih lanjut. Tetapi berdasarkan data prasasti Mantyasih I setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa penduduk Magelang [Mantyasih] sejak awal abad X Masehi [sekitar tahun 900 Masehi] sudah mempunyai identitas [jatidiri] yang cukup menarik dan patut di banggakan, yaitu :

1. Sifat setia dan bakti kepada pimpinan [Sri maharaja]
2. Berbakti kepada Tuhan [Bhtara di beberapa buah bangunan suci, candi]
3. Mampu mengamankan jalan raya [hawan] dan menghilangkan rasa takut penduduk Kuning Kagunturan.
4. Gunung Tidar di Magelang apabila di kaitkan dengan legenda atau kepercayaan penduduk melambangkan titik tengah atau pusat suatu daerah. Bahkan juga di anggap sebagai paku pulau Jawa.
5. Penduduk Mantyasih [Magelang] sejak jaman dahulu selalu berhubungan atau kontak dengan penduduk lain. Hal ini disebabkan letak Mantyasih [Magelang] di tengah-tengah jalan raya yang menghubungkan dataran tinggi Dieng [pusat ziarah, siddhayatra atau tirthayatra] dengan daerah di Jawa timur [Pranaraga]. Jalan raya itu rupa-rupanya membentang antara dieng, Wonosobo, Parakan, Magelang, Yogyakarta, Prambanan, Wonogiri dan Ponorogo [Pranaraga].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar