Senin, 13 April 2020

Batara Guru Dalam Mitologi Beberapa Suku di Indonesia

Bathara guru

Bathara Guru merupakan Dewa yang merajai ketiga dunia, yakni Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka). Ia merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu , hadiah, dan berbagai ilmu. 

Batara Guru mempunyai sakti (istri) bernama Dewi Uma dan Dewi Umaranti. Bathara Guru mempunyai beberapa anak. Wahana (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembu
Nandini . Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata.Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh Sang Hyang Tunggal, bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya (Semar). Oleh Hyang Tunggal, diputuskanlah bahwa Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa.

Batara Guru memiliki dua saudara, Sang Hyang Maha Punggung dan Sang Hyang Ismaya. Orang tua mereka adalah Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Suatu hari, Dewi Rekatawati menelurkan sebutir telur yang bersinar. Sang Hyang Tunggal mengubah telur tersebut, kulitnya menjadi Sang Hyang Maha Punggung(Togog) yang sulung, putih telur menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar), dan kuningnya menjadi Sang Hyang Manikmaya.
Kemudian waktu, Sang Hyang Tunggal menunjuk dua saudaranya yang lebih tua untuk mengawasi umat manusia, terutama Pandawa, sementara Batara Guru (atau Sang Hyang Manikmaya) memimpin para dewa di kahyangan.

Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda dia betul-betul terjadi.

Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya.

Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya.

Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan Walisongo dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran Islam di Jawa. Contoh lain adalah penyebutan Drona menjadi Durna (nista), adanya kisah Yudistira harus menyebut kalimat syahadat sebelum masuk surga, dan lain-lain.

Mitologi Bhatara guru orang Batak sumatra


Batara Guru adalah salah satu dari Debata na Tolu (Dewata Tritunggal) yang menguasai
Banua Ginjang (dunia atas, kediaman para dewa). Ia dan saudara-saudaranya -Debata Sori Pada dan Debata Mangala Bulan - terlahir dari tiga butir telur yang dierami seekor ayam betina raksasa, Manuk Patiaraja, sesosok awatara dari Debata Asi Asi. Ia menikahi seorang dewi bernama Siboru Porti Bulan dan memiliki dua putra (Mula Songta dan Mula Songti) serta dua putri (Siboru Sorba Jati dan Siboru Deak Parujar). Siboru Deak Parujar selanjutnya menikahi Siraja Odap Odap dan melahirkan keturunan yang menjadi leluhur umat manusia yang tinggal di Banua Tonga (dunia tengah, yaitu Bumi

Mulajadi na Bolon yang maha kuasa memberi Batara Guru kebijaksanaan, hukum peradilan, hukum kerajaan, pengetahuan, dan kemampuan untuk mengontrol takdir serta nasib umat manusia. Wilayahnya meluas dari Bukit Siunggas ke Bukit Parsambilan, termasuk surga bertingkat tujuh dimana pohon suci Hari Ara tumbuh.

 Batara Guru digambarkan mengenakan jubah hitam serta serban berbentuk kapal besar dengan tiga warna yang disebut "Talungkup". Ia mengendarai kuda hitam dan di tangannya membawa timbangan yang disebut "Gantang Tarajuan". Ia memiliki seekor gagak berwarna hitam dan burung Nanggar Jati. Ia juga memiliki kemampuan untuk memberi kehidupan pada umat manusia serta membuka telinga mereka sehingga mereka dapat membedakan kata-kata baik dan jahat

Bathara guru menurut mitologi makasar, bugis, Buton dan di kepuluan sulawesi

Berdasarkan Sureq Galigo, Batara Guru adalah seorang dewa, putra Sang Patotoqe dan Datu Palingeq , yang dikirim ke bumi untuk dibesarkan sebagai umat manusia. Nama kedewaannya adalah La Togeq Langiq. Ia setidaknya memiliki sepuluh anak dari lima selirnya, tetapi hanya satu putra dari permaisuri yang ia cintai, We Nyiliq Timoq . Ia adalah ayah dari Batara Lattuq dan kakek dari Sawerigading , tokoh utama dari kisah mitologi Bugis, Sureq Galigo. Ia juga ayah dari Sangiang Serri , dewi padi dan kesuburan dalam mitologi Bugis.

Disadur dari website Nusantara review, menyebutkan sejarah Buton pada dasarnya dapat dibagi dalam 2 kisah. Pertama. Kisah berdasar Hikayat Sipanjonga. Dalam hikayat tersebut, disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Butun, Mia Patamiana berasal dari Johor. Mia Patamiana secara harfiah berarti ‘si empat orang’ yakni Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati.
Sipanjonga, pemimpin kelompok yang berpindah ke Butun berasal dari pulau Liyaa, Johor. Pendaratan rombongan Sipanjonga di Pulau Butun terbagi dua. Kelompok Sipanjonga dan Simalui di Kalampa, sedangkan kelompok Sitanamajo dan Sijawangkati di Walalogusi. Kedua kelompok itu membangun pemukiman di tepi pantai. Kemudian kedua kelompok itu bergabung dan bersama-sama membuka suatu pemukiman. Kegiatan membuka belukar dan menebangi kayu disebut “welia”. Dari “welia” itulah konon muncul kata Wolio.
Kisah berdasar sejarah lisan asli masyarakat Buton. Dalam sejarah lisan tersebut, kerajaan Buton didirikan oleh Wa Kaa Kaa. Ia seorang perempuan yang keluar dari “buluh bambu”. Wa Kaa Kaa kemudian dicatat kawin dengan Sibatara, bangsawan keturunan Majapahit. Setelah Wa Kaa Kaa (Raja ke-1), raja Butun adalah Bulawambona (Raja ke-2). Setelah itu para raja dijabat oleh laki-laki yaitu Batara Guru (Raja ke-3), Tuarade (Raja ke-4) dan Mulae (Raja ke-5) dan Marhum (Raja ke-6).
Secara umum, Batara Guru dalam kisah asal-usul sejarah Buton merupakan raja laki-laki pertama dalam sejarah Buton. Sebelumnya para raja dipegang oleh seorang putri. Baik Wa Kaa Kaa maupun Bulawambona. Penamaan Batara Guru sebagai putra Bulawambona kiranya tidak lepas dari Sibatara atau bangsawan keturunan Majapahit. Hal ini karena Buton awal dimana Wa Kaa Kaa lahir, tidak dikisahkan memiliki tradisi Hinduisme sebelumnya.
Batara Guru pada dasarnya adalah dewa agama Hindu yang memiliki akar Jawa Kuno. Dimana Batara Guru bersifat lebih monotheisme, karena ia merupakan dewa tertinggi. Dewa-dewa lain berada dalam posisi dibawahnya. Berbeda dengan konsep asli Hinduisme, Batara Guru atau Siwa merupakan satu dari tiga dewa tertinggi.
Dari sini maka dapat dikatakan jika Batara Guru sebagai salah satu leluhur Raja Buton tentu memiliki akar dari Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar