Minggu, 05 April 2020

KAKEK SULTAN AGUNG MATARAM ISLAM ABDI PEMBAWA SIRIH

~Selama ini kita sudah di bohongi oleh sejarah yang bersumber dari babad tanah jawi karya sastra babad tanah jawa ini hanya untuk meligitimasi sebuah kekuasaan karna memang  raja mataram keturunan tani pembawa cangkul dan pembawa sirih raja pati bumi Mina tani,

Jan Pieterzon Coen dalam "Vertoogh", p.126-127, sewaktu menjabat di Jepara menguraikan bahwa kakek Raja Mataram saat itu (Sultan Agung) adalah "seorang rakyat biasa dari desa Mataraman Pati, seorang pembawa sirih Raja Paty, yang karena keberaniannya dalam penggunaan senjata dan akal kakek raja Mataram mengalami nasib baik dan mendapatkan Wahyu keprabon "gagak emprit" sehingga bisa mloncat dari kedudukan yang rendah dalam masyarakat menjadi orang yang berkuasa menjadi raja setelah kesultanan pajang runtuh, Dan Oleh H. Djajadiningrat dijelaskan "bahwa kakek atau buyut raja Mataram adalah Kyai Gede Pemanahan"

Kemudian pada tahun 1623 , ia menyerahkan kekuasaan kepada Pieter de Carpentier dan ia sendiri pulang ke Belanda. Oleh pimpinan Kompeni ( VOC ) ia disuruh kembali ke Hindia Belanda dan menjadi Gubernur-Jenderal kembali. Maka ia pun datang pada tahun 1627. Pada masa jabatannya kedua ia terutama berperang melawan Kesultanan Banten dan Mataram . 

Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung menyerang Batavia dua kali, yaitu pada tahun 1628 dan 1629 . Kedua-duanya gagal, tetapi Coen tewas secara mendadak pada tanggal 21 September 1629 , empat hari setelah istrinya, Eva Ment, melahirkan seorang putri yang juga meninggal.

J.P. Coen dikenang sebagai pendiri Hindia Belanda di Belanda. Namanya banyak dipakai sebagai nama-nama jalan dan bahkan di Amsterdam ada sebuah gedung yang dinamai dengan namanya (Coengebouw ). Sebaliknya, di Indonesia ia terutama dikenal sebagai seorang pembesar Kompeni yang kejam.

Dalam babad tanah Jawi tertulis Pemanahan adalah bawahan Pajang. Tapi dengan pernyataan Coen tersebut, bisa jadi sebelum mengabdi di Pajang, Pemanahan mengabdi pada Raja Paty yaitu Kyai Ageng Pati atau Kyai Ageng Ngerang 3 atau Sunan Pati, ayah Kyai Penjawi. Di saat inilah Pemanahan dipersaudarakan dengan Ki panjawi. 

Berdasar buku catatan silsilah koleksi milik Kantor Tepas Darah Dalem Karaton Yogyakarta Hadiningrat, keturunan raja pajang tidak lain masih bergaris trahnya leluhur Pati NYAI AGENG KEBO KENONGO ing Pengging sumare Astono Tingkir binti Kyai Gedhe Somawirangi ing Pathi garwa putraning Nyai Ageng Ngerang I,  

BAB:
 Ingkang Sinuwun Sultan Hadiwijoyo ing Pajang peputro 31: Yakni 6 laki-laki, dan 25 putri di halaman 9 dan 10 buku KRT Yudodiprojo yang berjudul “Kasultanan Demak Bintoro”. disebutkan bahwa: 

 Kiageng Mukmin ing Ngadiboyo I peputro 3

1). Kiageng Mukmin ing Ngadiboyo kaping II garwo putro Ki Ageng Getas Pandhawa inggih Kiageng Ngabdullah.

2). Kiageng Kemiri ing Selo garwa putraning Nyai Ageng Ngerang ingkang I. Peputro 2 iji. 
a). Nyai Ageng Madhe Pandhan II; 
b). Nyai Buyut Pathi garwa Kyai Ageng Ngerang III

3).Kyai Gedhe Somawirangi ing Pathi garwa putraning Nyai Ageng Ngerang I. Peputro: 4.
a). Kyai Citrosoma ing Pathi
b). Kyai Citrowirangi ing Tingkir.
c). Nyai Kebo Kenongo garwa Kyai Kebo Kenongo ing Pengging.
d). Nyai Ageng Butuh sumare Butuh ing Bantul.

NYAI AGENG KEBO KENONGO ing Pengging sumare Astono Tingkir binti Kyai Gedhe Somawirangi ing Pathi garwa putraning Nyai Ageng Ngerang I,  

NYAI AGENG KEBO KENONGO ing Pengging peputro 1. 
Raden JOKO KAREBET inggih Raden Joko Tingkir, sareng dados Lurah  Tamtomo santun nama: Raden sutowijoyo sareng Jumeneng Nata Jejuluk : Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan HADIAMIJOYO (HADIWIJOYO) Prabu Kamidil Alam ing Karaton Pajang kaping I, ugi Trah Ratu Dayaningrat ing Pengging Trah Mojopahit V. Ingkang Sinuwun Sultan Pajang wau garwa putro dipun piterangaken dumugi ingkang gathukipun darah ing Sukowati. Bisa di bandingkan dari sini silsilah ke Ageng pamenahan.

Keabsahan Panembahan Senapati dan keturunannya yang mengklaim sebagai pewaris sah Majapahit inilah yang juga dipertanyakan keturunan bangsawan Madura yakni Trunajaya. Trunajaya merupakan keturunan bangsawan Madura yang melawan dan berhasil mengusir Amangkurat II dari Keraton Mataram, mengejek raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senapati itu ibarat buah tebu.

“Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi”. 
Artinya
(Raja Mataram itu saya umpamakan tebu, meskipun ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi) (Medjanto 1987, halaman 84).

Dalam cerita tutur, kebesaran Pemanahan yang selanjutnya dikenal sebagai Ki Ageng Mataram, dikisahkan secara turun-temurun. Selain berbekal alas Menthaok, legitimasi sebagai penurun raja-raja Jawa, juga datang dari wahyu keraton (Wahyu keprabon gagak emprit) yang ia terima. Babad Tanah Jawi, melukiskan keberuntungan takdir Pemanahan, saat ia datang ke rumah Ki Ageng Giring, sahabatnya.

"Tersebutlah, di dusun Giring (kini masuk kabupaten Gunung Kidul). Dusun tandus dengan ladang yang bagai tak tersentuh kesuburan itu, ternyata dipilih oleh semesta untuk menjadi tempat diterimanya wahyu keraton (dalam cerita tutur sering disebut wahyu Gagak Emprit) yang bersemayam di dalam sebuah kelapa.

Konon, kelapa itu tumbuh dari sepet (kulit kelapa kering) yang ditanah Ki Ageng Giring. Tentu saja ganjil, kulit kelapa bisa tumbuh menjadi pohon kelapa. Namun itulah, kesaktian ucapan Kajeng Sunan Kalijaga yang tak dibantah Ki Ageng Giring. Dan, benar. Setelah tumbuh menjadi pohon kelapa, Kalijaga menuturkan bahwa, di dalam buah kelapa itulah, wahyu keraton tersimpan. Siapa saja yang bisa menghabiskan air kelapa dalam sekali teguk, dialah yang akan mendapat keberkahan sebagai penurun raja-raja tanah Jawa.

Ki Ageng Giring girang. Cita-cita besarnya yang selalu diniatkan dalam setiap semadinya, untuk menjadi penurun wiji ratu akan terkabul. Agar bisa meneguk air kelapa atau degan dalam sekali teguk (dalam bahasa Jawa disebut sak ndegan), Giring berladang. Harapannya agar haus sehingga bisa minum air degan sak ndegan ; meneguk air kelapa dalam sekali tegukan.

Tapi begitulah. Sejarah berkehendak lain. Bukan Ki Ageng Giring yang mampu menenggak air kelapa keramat itu. Sebab, ketika ia sedang menempa diri di ladang agar mengalami haus tingkat tinggi, rumahnya kedatangan tamu agung; Ki Ageng Pemanahan dari bumi Mataram.

Perjalanan amat panjang, menemus belantara, menakhlukan bukit cadas Gunung Kidul, membuat Pemanahan kehausan. Seketika, saat melihat kelapa tergeletak, ia meminumnya. Betapa nikmat ngombe degan sak ndegan; jadilah Ki Ageng Pemanahan ya Ki Ageng Mataram dipilih takdir untuk menjadi penurun raja-raja Jawa karena di dalam air kelapa itulah wahyu keraton bersemayam.

Sementara itu, dalam rasa kecewa, Ki Ageng Giring yang datang dari ladang, menatap sahabatnya dengan tidak percaya. Rupanya, tapa brata yang selama ini dilakukan, masih kalah hebat dengan yang dijalani Pemanahan.
Ia mengadu pada Kanjeng Sunan Kalijaga, tentang kepedihan hatinya itu. Maka, bersama kanjeng sunan serta Ki Ageng Pemanahan, terjadi kesepakatan, akan ada salah satu keturunan Giring yang menyela menjadi raja; kelak ketika raja-raja Mataram sudah berganti hingga tujuh turunan."

Pati sudah dikenal sebagai Kadipaten, karna stigma yg dimunculkan dalam Babad Tanah Jawa produk Mataram. Di mana Penjawi jadi Adipati Pati karna berhasil tumpas kraman Jipang. Ini yg perlu dicermati. Tapi kalo mengingat Babad Sangkalaning Momana yg dikutip Raffles dalam History of Java, di mana disebut di tahun. 1511-1518, adalah masa "Kepangeranan Pati", dan Kayu Bralit adalah penguasanya. Dan tentunya dialah Pangerannya. Kalo mau mencermati nama "Bralit", tak lain ini adalah singkatan dari "Bhra Alit" atau "Bhatara Alit". Gelar "Bhra"atau "Bhre" jelas adalah gelar seorang Pangeran Majapahit. Jadi jelas di masa Demak awal ini, Pati paling tidak adalah Kerajaan kecil di bawah Majapahit, seperti halnya Bhre Lasem, Bhre Pajang, dll, yg kesemuanya adalah raja-raja Anom. Adapun Penjawi, kalo ditilik dari silsilahnya, dia berdarah Majapahit, bisa di croskek dari pustaka darah agung.

Sudah jelas babad tanah jawi sendiri menyebut dia putra Ki Ageng Pati alias Ki Ageng Ngerang III. Dari Pustoko Darah Agung, disebut istri Ki Ageng Ngerang III adl putri Syeh Malaya alias Sunan Kalijaga, dari istri "Ratu Kano Kadiri". Di masa Demak, yg jadi penguasa Kediri tak lain adl Bhre Keling dyah Ranawijaya, raja Majapahit akhir (1486-1527). Berarti "Ratu Kano Kadiri" tsb tak lain adl putri Ranawijaya. Jadi beliau adl nenek Penjawi. Sementara Budenya atau kakak ibunya, yaitu Ratu Pembayun adl istri Sultan Trenggana. Dengan demikian, tanpa harus ikut susah payah numpas Jipang, Penjawi sebenarnya secara otomatis adalah penguasa Pati gantikan ayahnya yang jadi Panembahan di masa Demak.

Tapi setelah Demak runtuh, berita yg muncul dalam babad tanah Jawi ki Penjawi hanyalah Adipati. Dan Demak digantikan Pajang. Jadi dapat diduga Penjawi sebenarnya bukanlah seorang Adipati waktu itu. Dan memang sudah haknya Ki panjawi mendapatkan bumi Pati bukan karna mendapatkan hadiah dari sultan pajang Jaka Tingkir setelah memenangkan sayembara, Hanya kepentingan politik Mataram sajalah yang menulis babad tanah Jawi sedemikian rupa, perlu di ketahui bahwa
Tak ada Ki Ageng Mangir ditulis dalam Babad Tanah Jawi Kisah, Ki Ageng mangir hanya ada dalam Babad Mangir ! Beliau adalah cucu Ki Ageng mangir Wanabaya dari istri Putri saking Juwana. Dan Wanabaya adalah putra Arya Lembu Amisani, sodara Bhatara Katwang di Panaraga, Mereka adalah putra Brawijaya V. Akan tetapi babat tanah jawi malah menyebut Arya Lembu Amisani bergelar Brawijaya III, beristri Retna Penjawi putri Arya Lembu Sura Patih Surabaya (dalam Sajarah Banten disebut Lembu Sura adl Patih Demak / Prawata, mertua Arya Sumangsang alias Arya Jimbun ato Raden Patah). Adapun Nyai Pembayun diungsikan oleh kakeknya Ki Penjawi ke Pati, setelah Mangir suaminya tewas dibunuh di Mataram. Di Pati Pembayun melahirkan Bagus Wanabaya (tutur dari Depok)

Babad Mangir memang menyatakan Arya Lembu Amisani dan Bhatara Katong sebagai putra Brawijaya V. Tetapi dalam Babad Tanah Jawa, dari 100 lebih anak Brawijaya V, tak ada disebut nama Arya Lembu Amisani sebagai salah satu putranya. Namun Bhatara Katong ada tercatat sbg putra Brawijaya V dalam babad tanah Jawi, Jadi Mangir memang trah Brawijaya V menurut Babad Mangir. Tetapi tidak tercatat / tidak diakui dalam Babad tanah jawi, mengapa demikan....? Karna sultan agung sendiri menyadari bahwa kakeknya adalah keturunan petani bukan keturunan raja raja majapahid justru Ki Ageng mangirlah yang memang trahnya keturunan majapahid jadi tidak salah sultan agung membunuh Ki Ageng mangir karna takutnya Ki Ageng mangir akan memberontak terhadap sultan agung dan memang di masa itu Ki ageng mangir tidak mau tunduk dengan sultan agung karna pada dasarnya Ki Ageng mangir berkeyakinan menempati wilayah dari warisan leluhurnya yaitu bhre Mataram Dyah wijayakarana

Anehnya, babad tanah Jawi justru sebut Arya Lembu Amisani sbg Brawijaya III, kakek Brawijaya V. Babad Mangir kisahkan pelarian Arya Lembu Amisani sampai di Ardi Kidul / Gunung Kidul pasca Majapahit runtuh. Di desa Dander beliau mangkat. Kemudian Wanabaya putranya pindah dari Dander ke Mangir, dan menurunkan dinasti Mangir di sana. Sementara babad tanah jawi juga mengisahkan pelarian Brawijaya V ke Ardi Kidul, dan mangkat di gunung Sawar. Sedang menurut tutur di desa Ngobaran, Wonosari, Gunungkidul, di sana Brawijaya V pati obong. Ini sesuai nama desa itu Ngobaran, tempat untuk ngobar atau ngaben jenasah.

Jadi pasa Majapahit jatuh, baik Brawijaya V, ataupun Arya Lembu Amisani, diteruskan Wanabaya yg menurunkan Mangir, tampaknya pindah di wilayah Gunungkidul, menempati wilayah Bhre Mataram dyah Wijayakarana. Dengan demikian Mangir inilah yg sebenarnya punya hak waris terhadap bumi Mataram. Bukan Ki Ageng pamenahan, Kemudian muncullah Pemanahan yg tiba-tiba menyandang gelar Ki Ageng Mataram. Atas dasar apa dia peroleh gelar itu Kenapa tidak pake gelar Ki Ageng Mentaok, sesuai nama hutan di mana dia tinggal. ?

Inilah makanya pembunuhan Mangir tak ditulis dalam babad tanah jawi. Karna pihak keturunan Pemanahan menganggap Ki Ageng mangir yang masih trah Brawijaya, pemilik sah bumi Mataram wilayah bhre Mataram Dyah wijayakarana. Untuk itulah mreka membangun legitimasi lewat dongeng dalam babad tanah Jawa tersebut di antara cerita dongeng itu..

(1) Pemanahan peroleh bumi Mataram karna jasanya menangkan sayembara tumpas pembrontakan Jipang dan Sutawijaya anaknya yg masih bocah sanggup bikin brodol usus Arya Penangsang.

(2) Pemanahan sandang gelar Ki Ageng Mataram, setelah nunggu 2 windu dapat ijin Hadiwijaya untuk babat alas Mentaok di bumi Mataram sebagai Panembahan di sana.

(3) Kemudian dalam serat tilaranipun KPH. Poerwadiningrat, dalam buku Kagungandalem Pasareyan Hastana Kita Ageng Ngayogyakarta, dicritakan Pemanahan dapat menempati bumi Mataram setelah diperbolehkan oleh Panembahan Jayaprana putra Sunan Prawata, yang waktu itu telah napak tilas melaksanakan wirayat dari Prabu Satmata ing Giri Kedaton, menempati petilasan Ki Ageng Mataram pertama itu.

Panembahan Jayaprana memberi ijin Pemanahan untuk menempati Mataram, asal dia sanggup menggendongnya sampe 10 onjotan. Tapi Pemanahan hanya sanggup sampai 2 onjotan saja. Oleh karna Pemanahan mau gendong Panembahan, meski hanya 2 onjotan saja, akhirnya Panembahan rela meninggalkan tempatnya dan persilahkan Pemanahan yg menempatinya. Atas perkenannya maka saat Panembahan wafat dimakamkan di Kota Gede, di cungkup paling atas.

(4) Lantas dalam serat milik KPH. Hamami Natadipura dari Babad Mataram Islam, oleh Kyai Ageng Walisuci, dicritakan Kyai Ageng Mataram Kapisan (1) bernama Syeh Maulana Ahmad 'Mataram' Jumadilkubra (makamnya di Plawangan, dukuh Turgo, Kaliurang, Yogya). Tokoh ini (adalah cucu Syeh Maulana Husein Jumadilkubra), yang konon buka hutan pertama kali di wilayah yg kemudian disebut Mataram setelah sepeninggalnya bhre mataram. 

Dan inilah orang dari Bani Ngasin yg pertama kali menginjak bumi Mataram. Maulana Ahmad Mataram tidak lain adalah menantu Syeh Ngabdurrahman Nangkoda berjuluk Arya Tejalaku sebagai Adipati Tuban yang beristri Retna Pamedarsih, putri Rara Mandar selir Prabu Bratana / R. Susuruh ratu Majapahit, Dengan putri Arya Tejalaku yaitu Wandankuning sebagai istri, maka Maulana Ahmad Mataram berputra Syeh Maulana Ngabdurrahman Jumadilkubro, berjuluk Bondan Kejawan alias Lembu Peteng.

(5) Dalam babad tanah jawi disebut R. Susuruh seorang pangeran Pajajaran dirikan Majapahit, di sebelah selatan gunung Merapi, sebelah utara Pamantingan (Babad Tanah Jawi, Balai Pustaka 1939/41, Jilid 1, hal. 66). Pamantingan sekarang disebut Pamancingan di Parangtritis, Jogya. Inilah klaim keturunan Sutawijaya terhadap bumi Mataram. Dalam BTJ sejarah Singasari, Ken Arok Ken Dedes dihilangkan, diganti semua dari trah Pajajaran. Dan dalam Pararaton terbitan 1613, disebut Ken Arok adalah perompak, anak maling. Inilah konspirasi penulisan babad yg terprogram secara jenius, Pati di masa itu distigma sebagai Kadipaten. Memang setelah kekalahan Pati terhadap Mataram di masa Wasis, barulah Pati dijadikan Kadipaten di bawah kekuasaan Mataram Islam

Demikian kurang lebihnya mengenai kronologis dan analisa dari berbagai sumber yang kami rangkum,
Sumber: Team Bedah sejarah Pati yayasan Arga kencana pimpinan bapk Ir Djoko Wahjaono 
Salam sejarah..... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar