Kamis, 23 April 2020

PRASASTI BERAKSARA JAWA KUNA DI FILIPHINA



    

  Prasasti ini di keluarkan pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah
balitung pada masa Mataram i poh pitu berselang satu tahun Prasasti rongkab di keluarkan prasasti yang bertarih tahun 823 saka, sedangkan prasasti yang di temukan di filiphina bertarih tahun 822 saka dan Rakai Watukura Dyah balitung memerintah pada tahun 898 – 910 M.



Pada tahun 1989 telah ditemukan sebuah prasasti beraksara kawi (Jawa kuna) di Filiphina. Kemudian praasti ini oleh para ahli dinamakan sebagai prasasti laguna. Prasasti ini dibuat pada tahun 900 M sesuai dengan yang tertera pada isi prasasti (822 saka). Prasasti ini sekaligus membuktikan bahwa Filiphina memiliki sejarah dan peradaban jauh sebelum Spanyol menjajah Filiphina.
Pada dekade-dekade sebelumnya, terdapat propaganda yang disebar pemerintah Filiphina dan dipercaya oleh dunia yang menyatakan bahwa sejarah dan peradaban awal filiphina dimulai secara signifikan sejak kedatangan para conquistador dan misionaris Spanyol ke kepulauan yang kemudian dinamai Philiphina sesuai nama raja agung spanyol, Philiph. Benarkah demikian??

Sejarawan Filiphina mulai menolak pendapat tersebut sejak ditemukannya prasasti laguna dan mulai menghubungkan sejarah negeri mereka dengan Medang (Mataram Kuna). Satu cuplikan isi prasasti tersebut berbunyi, “ Sang Tuan yang terhormat dari binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup dan yang telah diklaim penguasa dewata, yang diwakili oleh sang penguasa Medang “.
Prasasti ini menurut sejarawan Filiphina merupakan bukti bahwa sejak dahulu daerah kepulauan filiphina sudah memiliki peradaban dan ada dalam pengaruh Medang. Bahasa yang digunakan dalam prasasti ini menurut para ahli sejarah filiphina adalah bahasa campur aduk dengan unsur Jawa kuna, Melayu kuna dan ada unsur sansekerta bahkan bahasa tagalog lokal di dalamnya. Prasasti ini bisa menjadi petunjuk tentang bahasa persatuan nusantara di era abad ke 7-9 masehi era Medang.


Isi prasasti
Swasti Shaka warsatita 822 Waisaka masa di(ng) jyotisa. Caturthi Krisnapaksa somawara sana tatkala Dayang Angkatan lawan dengan nya sanak barngaran si Bukah anak da dang Hwan Namwaran dibari waradana wi shuddhapattra ulih sang pamegat senapati diTundun barja(di) dang Hwan Nayaka tuhanPailah Jayadewa.
Di krama dang Hwan Namwaran dengan dang kayastha shuddha nu diparlappas hutang da walenda Kati 1 Suwarna 8 di hadapan dang Huwan Nayaka tuhan Puliran Kasumuran.
dang Hwan Nayaka tuhan Pailah barjadi ganashakti. Dang Hwan Nayaka tuhanBinwangan barjadi bishruta tathapi sadana sanak kapawaris ulih sang pamegat dewata [ba]rjadi sang pamegat Medang dari bhaktinda diparhulun sang pamegat.
Ya makanya sadanya anak cucu dang Hwan Namwaran shuddha ya kapawaris dihutang da dang Hwan Namwaran di sang pamegat 'Dewata.
Ini grang syat syapanta ha pashkat ding ari kamudyan ada grang urang barujara welung lappas hutang da dang Hwa ...



Terjemahan

  Om Swasti. Tahun Saka 822, bulan Waisakha, menurut penanggalan. Hari keempat setelah bulan mati, Senin. Di saat ini, Dayang Angkatan, dan saudaranya yang bernama si Bukah, anak-anak dari Sang Tuan Namwaran, diberikan sebuah dokumen pengampunan penuh dari Sang Pemegang Pimpinan di Tundun (Tondo sekarang), diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah (Pila sekarang), Jayadewa.

Atas perintahnya, secara tertulis, Sang Tuan Namwaran telah dimaafkan sepenuhnya dan dibebaskan dari hutang-hutangnya sebanyak satu Katî dan delapan Suwarna di hadapan Sang Tuan Puliran Kasumuran di bawah petunjuk dari Sang Tuan Nayaka di Pailah.

Oleh karena kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang.oleh sebab itu seluruh anak cucu Sang Tuan Namwaran sudah dimaafkan dari segala hutang Sang Tuan Namwaran kepada Sang penguasa Dewata.

(Pernyataan) ini, dengan demikian, menjelaskan kepada siapa pun setelahnya, bahwa jika pada masa depan ada orang yang mengatakan belum bebas hutangnya Sang Tuan ...

Prasasti ini berisikan pernyataan pembebasan hutang emas terhadap seseorang bernama Namwaran. Di dalamnya juga menyebutkan sejumlah nama tempat di sekitar Filipina (Tondo, Pila, dan Pulilan), serta menyebut nama "Mdang" (Mataram Kuna), serta beberapa tempat yang belum bisa dipastikan seperti Dewata. Prasasti ini menjadi petunjuk mengenai adanya pengaruh Kerajaan Medang di Pulau Luzon pada awal abad ke-10. Sekarang dokumen ini tersimpan di Museum Nasional Filipina.
Wacana yang dapat ditarik dari sini adalah apakah benar bahasa jawa kuna dan melayu kuna adalah dua hal yang beda atau malah bahasa yang sama namun menjadi sedikit beda karena letak geografis dan perkembangan budaya di masing-masih daerah yang terpisah laut??

Yang jelas ada sangat banyak kemiripan antara bahasa jawa kuna dan melayu kuna yang menurut kami dapat diANALogikan dengan kasus bahasa Jawa Tengah dan Jawa Timur di era modern ini. Bahasa yang digunakan di dua daerah ini secara bentuk, lafal dan intonasi adalah cukup beda namun masih dianggap sebagai variasi bahasa jawa secara umum dan penduduk di dua tempat itu masih bisa mengerti saat diajak berbicara dengan variasi bahasa jawa yang beda.

Demikian halnya dengan kasus bahasa jawa kuna dan melayu kuna. Keduanya secara virtual nampak agak beda namun sebenarnya sangat mirip. Kedua bahasa ini tentu berasal dari bahasa yang sama dan memiliki banyak varian lain di pulau pulau lain di nusantara yang mirip dengan kedua bahasa tersebut. Mengingat luasnya nusantara yang terpisah-pisah oleh laut, penyebaran bahasa kepulauan ini hanya mungkin terjadi dikarenakan dahulunya seluruh kepulauan bersatu atau mungkin dipersatukan.





sumber:
-philiphine laguna inscription
-Paul Morrow’’s the laguna copperplate inscription
- Philippine Studies: Historical and Ethnographic Viewpoints is published by the Ateneo de Manila Universit

1 komentar: